Bima

"Indira, kamu mau ga aku kenalin sama temanku? Namanya Luhur Bima. Dia kerja di SMERU." Sebuah pesan whatsapp tiba-tiba masuk ke HP saya, pada medio Juli 2014. Pesan itu dari seorang sahabat perempuan saya, yang sedang beraksi sebagai mak comblang. Ya, waktu itu usia saya 29 tahun, dan masih melajang. Tawaran-tawaran perkenalan seperti itu sudah jamak saya terima, semenjak usia saya mencapai seperempat abad dan masih sendiri. Bagi saya, tawaran itu adalah bentuk perhatian, entah dari teman atau keluarga, yang pasti selalu saya iyakan. Begitu juga dengan tawaran terakhir ini. 

Sebetulnya, waktu itu saya sedang tidak terpikir untuk menjalani relasi serius. Saya sedang ingin berfokus menata hidup saya, terutama setelah saya mengalami badai hidup yang signifikan dengan seseorang di masa lalu saya. Hal yg terpikir di benak saya waktu itu hanyalah ingin berteman dan memperluas relasi. Di samping itu saya juga ingin belajar dari teman baru itu, mengingat saya diberi tahu bahwa ia menghabiskan hampir 7 tahun untuk belajar di Eropa. Sebuah kesempatan yang hingga kini masih saya perjuangkan. 

Sebelum bertemu dengan Bima, ada banyak praduga2 yang muncul di benak saya. Praduga yang muncul karena minimnya informasi mengenai dirinya. Sempat saya mencoba untuk melacak di dunia maya, tapi sayangnya hasilnya pun nihil. Nampaknya, kemampuan saya dalam mengkepo orang memang perlu ditingkatkan 😝😝 

Di benak saya waktu itu, saya akan bertemu dengan seorang geolog yang sedang melakukan penelitian di Gunung Semeru. Sempat pula terpikir bahwa saya akan bertemu dengan seorang lelaki yang arogan dengan gaya hidup yang hedon. Diam-diam terbersit rasa minder di hati saya. Siapalah saya ini.. Ah rupanya inferior kompleks saya masih juga berulah disaat-saat seperti ini. 

Pada akhirnya, di bulan Agustus 2014, dengan perantaraan sahabat saya itu, kami pun bertemu untuk pertama kalinya di Yogyakarta. Sebuah kota yang rupanya pernah menjadi bagian dari masa lalu kami dan menempati tempat tersendiri di hati. Setelah saya bertemu dengannya, baru saya sadari bahwa praduga saya sungguh kelewatan salahnya alias salah total! Lelaki yang saya temui malam itu adalah lelaki yang tidak banyak bicara. Alih-alih berbicara tentang kehebatan dan pengalaman dirinya, Bima justru lebih banyak bertanya dan mendengarkan. Hingga akhirnya mengalirlah diskusi yang nyaman di antara kami. Saat itu baru saya sadari, betapa rendah hatinya lelaki satu ini. Suatu hal yang menurut saya langka ditemui, mengingat ia punya kapasitas dan potensi yang bisa jadi modal untuk menyombongkan diri. 

Obrolan yang nyaman yang saya temui dalam perjumpaan pertama, akhirnya berlanjut di udara. Bersyukur atas kehadiran whatssapp dan skype, yang membuat jarak antara Depok dan Yogya menjadi secepat kilat cahaya. Saya tidak bisa membayangkan kalau kami tinggal di abad 19. Mungkin, merpati akan menjadi dewa penolong kami. 

Di udara, kami banyak berbicara satu dan lainnya. Meski baru sekali bertemu, rupanya kami bisa sangat "nyambung" ketika ngobrol. Range topik kami sangat luas dan dalam, mulai dari yang sepele seperti tentang makanan sampai yang serius seperti tentang hidup. Dan saya, sangat menikmatinya. Hal yang sama saya temui saat akhirnya kami berjumpa lagi. Kali ini ditambah dengan kesenangan baru, karena ketika bertemu berarti kami bisa berpetualang bersama. Makan, jalan-jalan, ngobrol, merenung, dan tertawa sepuasnya. Saat itu, saya sadari bahwa jarak membuat setiap pertemuan menjadi berarti. Jarak adalah jeda untuk bisa membuat manusia menghargai apa arti bersama. 

Dari berbagai obrolan kami, saya menjadi semakin mengenal Bima. Kesan tentang sosok lelaki yang rendah hati tak pernah pudar di mata saya, bahkan berpendar. Kali ini ditambah dengan kesadaran bahwa ia adalah sosok yang sederhana. Bima tak pernah risau dengan apa yang ia makan, kenakan, dan gunakan. Kemana-mana cukup hanya dengan celana pendek, T-Shirt, dan sandal. Biasanya saya bingung kalau ada undangan resmi seperti pernikahan, karena berarti itu PR besar untuk kami mencari baju "bagus" untuknya. 😊 Bima kemana-mana selalu menggunakan kaki atau kendaraan umum. Alasan dia agar efisien dan menjaga kesehatan. Tapi, di mata saya, ada alasan yang lebih dalam dari itu. Sederhana memang menjadi tujuan sekaligus gaya hidupnya. Pernah suatu ketika, saya dikejutkan dengan ajakan dia naik bus umum dari Klaten, rumah Eyangnya, menuju Solo, rumah Eyang saya. Jangan bayangkan bus umum seperti TransJakarta. Bus yang ini adalah bus non ac yang di dalamnya pedagang dan pengamen masuk silih berganti. Jujur, saya paling ogah kalau disuruh berpanas2an dan berdesak-desakan di dalam bus. Kalau ada alternatif transportasi yang lebih nyaman, tentu saya akan pilih yg lebih nyaman. Dan, akhirnya kami menaiki bus itu, berdesak-desakan dengan penumpang lain. Ada penumpang yang membawa anak kecil yang rewel sepanjang jalan. Ada penumpang, yang sepertinya pedagang, membawa banyak sekali dagangan. Ada pedagang makanan yang harus padai mencari celah di antara penumpang yang berdiri, untuk bisa menjajakan makanannya. Kami semua bercampur baur di situ, dengan aroma yang tentu saja beraneka rupa. Dan kami semua cukup membayar Rp 6.000.00 untuk sampai di tujuan. Saat itu, saya sempat bertanya kepada Bima, mengapa kami harus naik bus ini dan jawaban dia sungguh mengena di hati, "supaya kita tahu dan tetap mengingat bagaimana perjuangan orang-orang kebanyakan." Sebuah jawaban yang membuat saya malu sekaligus terharu. Air mata saya tumpah sepanjang jalan dari Klaten ke Solo. Air mata itu adalah air mata syukur, karena saya bisa memaknai hidup bersamanya. 

Ya, sepanjang perjalanan relasi kami, Bima memang mengajarkan banyak hal kepada saya. Pengalaman naik bus umum hanyalah sedikit dari pemaknaan hidup yang saya dapat. Bima juga menjadi penyeimbang bagi diri saya. Sosoknya yang "lepas bebas" menjadi ekuilibrium bagi saya yang pencemas dan mudah terikat. Bersamanya, saya belajar menghargai dan memaknai hidup. Bersamanya, saya menjadi semakin berani untuk maju dan berjuang. Dengannya, saya semakin berani untuk menjadi diri sendiri dan berbahagia. Hal-hal itulah yang membuat saya selalu bersyukur karena Tuhan telah mempertemukan kami. 

Dan hari ini, adalah hari tepat dua bulan sebelum pernikahan saya dan Bima. Jarak terbentang jauh di antara kami, berkali-kali lipat daripada jarak Depok dan Yogyakarta. Hanya doa yang bisa saya kirimkan untuknya. Semoga Tuhan mengaruniaimu kesehatan dan menjagamu senantiasa. Sampai tiba kami bertemu nanti di Praha dan akhirnya Yogyakarta, untuk kami memohon restu-Nya, saling menjaga, belajar, dan bertumbuh bersama, sepanjang hayat usia kita. 

Bersama Tuhan, ada kepastian. Semoga Tuhan berkenan menemani perjuangan dan niat baik kami. 

Depok, 31 Mei 2016


Comments

Popular Posts