SAYA, PEREMPUAN, EYE SHADOW & SMOOTHING

Kita, perempuan, sering kali berpikir dan merasa bahwa kita akan semakin cantik jika memoles diri dengan berbagai benda kecantikan. Kulit dibuat sehalus mungkin, kalau perlu tidak ada kerut, jerawat, dan komedo, selalu lembab, dengan warna putih bening atau tembaga seperti habis berjemur mata hari (tergantung selera). Setelah itu tinggal dipoles dengan palet make up yang up to date, mau gaya glam atau sculpture yang seperti pahatan, tinggal pilih. Rambut dibuat semenarik mungkin, kalau tidak lurus ya ikal seperti boneka, lengkap dengan jenis cutting terbaru. Kalau rambut asli dirasa kurang memuaskan bisa diakali dengan smoothing, hair extention, dan cat rambut yang disesuaikan dengan warna kulit. Jangan lupa juga vitamin rambut, hair spa, dan sederet perawatan rambut lainnya. Setelah urusan wajah dan rambut selesai, ganti urusan badan. Maksud saya adalah bagaimana memoles badan menjadi seideal mungkin. Jangan sampai ada stretch mark, apalagi lemak yang bergelambir (seperti perut saya yang lacinya ada 3..hehehhehe). Pilihan baju juga harus pas, pas dengan bentuk badan, warna kulit, kepribadian, kantong (tentu saja) dan selalu up to date dong! Belum lagi sepatu, tas, dan asesoris lainnya, semuanya juga harus pas! Rasanya kurang pede kalau keluar rumah dan bertemu dengan orang asing dengan penampilan seadanya dan apa adanya. Bukan begitu perempuan? Kalau tidak percaya, coba hitung berapa menit waktu yang dihabiskan untuk memilih baju dan perangkatnya, serta berdandan dan mematut diri di depan kaca. Saya jamin lebih dari 15 menit setiap kalinya (wong saya juga kok…hehehhehe). Semuanya itu dilakukan dengan satu visi yang sama: CANTIK! Cantik di mata kita, dan cantik di mata lelaki.

Tapi baru-baru ini, saya diajak merefleksikan ulang mengenai berbagai hal itu, oleh seseorang. Ya, refleksi ulang mengenai definisi kecantikan, secara khusus di mata lelaki. Seseorang itu adalah teman kantor saya. Dia lelaki, tulen, straight (saya jamin!), berusia pertengahan dua puluhan, sangat mencintai pekerjaannya, dan menawan luar dalam (begitu banyak perempuan bilang). Obrolan kami berawal dari keluh kesah saya mengenai pekerjaan kantor tempat dimana saya magang. Kemudian ia mulai bicara mengenai korelasi antara kecantikan perempuan, pekerjaan, dan kepribadian. Kalau saya singkat, inti pembicaraannya adalah sebagai berikut: Perempuan seringkali terlalu sibuk dengan bagaimana agar bisa terlihat cantik dan menawan. Hal yang paling menonjol ya terlihat dari dandanannya sehari-hari, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Namun, karena terlalu ingin tampil menawan, justru yang tertangkap di mata lelaki adalah lebay, alias berlebihan. Indikatornya jelas, dandanan perempuan seringkali tidak disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Bahkan, yang paling parah adalah seringkali perempuan melupakan hal-hal dasar, seperti sikap, perilaku, dan kompetensi. Contoh paling konkrit, dandanannya sih oke punya, tapi masih bingung bagaimana cara mendekati orang lain (nah lo!). Dandanan juga sering dijadikan sebagai topeng bagi perempuan agar bisa bersembunyi. Bersembunyi dari kekosongan diri yang mungkin tidak disadarinya. Entah kekosongan akibat kurangnya kasih sayang, penghargaan, ataupun yang lainnya. Ibarat tangki air bocor yang kosong, ia berusaha mengisinya dengan mendempul wajah dan tubuh sana sini. Semakin ia diremehkan dan disakiti, maka semakin tebal pula dempulnya. Namun, tetap saja ia merasa kosong, karena toh jiawanya sendiri yang kosong. Bagaimana mau isi, wong tangki airnya bocor… Saking sibuknya mendempul, justru perempuan menjadi sibuk dengan dirinya sendiri, dan tidak perduli terhadap sekitarnya. Ia menjadi tidak apa adanya, apa adanya dirinya. 


Obrolan pagi hari itu, membuat saya merenung dan merefleksikan pengalaman hidup saya selama ini. Ada satu masa dalam kehidupan saya, yang mana saya merasa sangat minder karena merasa berwajah jelek. Pendapat itu seolah-olah dilegitimasi oleh pendapat beberapa teman lelaki yang mengatakan saya berwajah jelek, sehingga semakin minder lah saya. Akhirnya saya mencari kompensasinya dalam bentuk lain, yaitu intelektual dan bahkan sangat menolak hal-hal berbau kecantikan, meski hati kecil menginginkan untuk mendempul wajah ini disana dan disini. Namun, hal itu terasa sangat melelahkan. Saya mengejar dengan berbagai macam cara, dan saya dapatkan, namun hati tetap terasa kosong. Sampai kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, saya bisa menerima wajah saya dan pendapat orang lain mengenai wajah saya apa adanya. Lambat laun, saya merasa ringan, karena tidak perlu bersembunyi dan mengejar apa-apa. Saya merasa cantik, padahal kalau dilihat-lihat, wajah saya juga tetap sama saja seperti sepuluh tahun yang lalu. Ada satu perbedaan esensial dengan saya yang dulu. Saya yang saat ini jauh lebih bisa berdamai dengan diri sendiri dan kenyatan hidup yang ada. 

Untuk saat ini, saya suka berdandan (meski bukan maniak, dan sangat tergantung pada mood), karena berdandan saya jadikan sebagai ekspresi dari jiwa seni saya. Satu hal yang saya sadari beberapa belakangan ini, saat saya memoles wajah lebih wah dari biasanya adalah, perasaan asing terhadap diri sendiri. Hal yang senada saya alami saat saya menggunakan baju yang bukan saya banget. Rasanya tidak nyaman, tidak bebas, dan tidak ringan. Meski orang mengatakan saya semakin cantik jika berdandan seperti itu, hati kecil bicara, saya merasa tersiksa. Saya lebih suka dan merasa ringan saat melihat wajah saya yang alamiah, meski ada komedo, jerawat, dan kutil. Saya merasa bebas, meski nampak ada laci sebanyak 3 buah di perut saya. Saya suka diri saya apa adanya, dan saya mengamini dengan sepenuh hati, apa yang dikatakan oleh teman saya itu.
Pendapat diatas adalah pendapat teman saya dan saya, pendapat Anda bisa jadi berbeda. Namun bukan berarti dengan berpendapat demikian,  lantas saya mengharamkan perempuan untuk berdandan. Saya rasa berdandan juga sebagai sarana menghargai diri sendiri. Bukan berarti pula, kita, perempuan, tidak boleh merawat tubuh. Bagi saya merawat tubuh juga bisa dijadikan sebagai sarana mensyukuri karunia indah yang diberikan oleh-Nya. Namun pertanyaan selanjutnya adalah, apa dasar dan tujuan dari kita berdandan? Untuk menjawab pertanyaan itu, rasanya kita perlu berani jujur terhadap diri sendiri. Berani berhadapan dengan bopeng-bopeng yang selama ini kita hindari. Awalnya memang sakit bila berhadapan dengan kenyataan pahit yang tidak sesuai dengan keinginan kita, namun percayalah bahwa kita, perempuan, diberi kekuatan untuk menghadapinya. Toh hanya kita juga yang diberi hadiah oleh-Nya untuk melahirkan manusia ke dunia, dan jutaan bahkan milyaran perempuan bisa melakukannya, padahal kita smeua tahu bahwa proses itu menyakitkan. Kalau bukan diri kita sendiri yang menghargai diri ini, siapa lagi?


PS: Wahai gadis..apa pendapatmu? ^^

Comments

Cie cie... jadi blogger ni ceritanya Mbak?
eh..ada liemzy.... lagi gatel nulis niih..hehehhe.... thanks ya sudah baca.. ^^
Anonymous said…
Cocok!
Istilah "simplicity" semakin banyak diperhitungkan. Yang sederhana, yang simple, bukan lagi diasosiasikan dengan kekurangan atau defect, melainkan dengan keindahan, kemurnian, keaslian. Bahkan, dalam sains, konon, simplicity and beauty turut memengaruhi pemilihan suatu teori atau rumus: yg simple dan indah menjadi pilihan daripada yang rumit dan bertele-tele.
Kata-kata "small is beautiful", "less is more" banyak berpengaruh juga dalam seni, termasuk arsitektur yg masyhur dengan nama "minimalis". *ada hubungannya gak sih? hehehe
moga2 segera gatel lagi untuk nulis.
sepertinya dunia sudah semakin gerah dan gelisah dengan segala sesuatu yang berbau lebay... sesuatu yang autentik dan unik menjadi lebih dihargai...
thanks ya Ter..sudah aca dan tulis komen disini... sepertinya akan sering gatel kok..hehehhehe
dara said…
hai indie..nanya: kalika itu apa ya..? ;-)
tulisannya ekspresif n inspiratif
wuehehehhe... thangkyu Dara, udah baca tulisanku.. ^^ kalika itu dari bahasa sansekerta, artinya istimewa.... btw, met liburan yaaaaaa.... smangaaat!!!
cahyo said…
Bagus,Indi, teruslah menulis,ya.
sampai akhir menutup mata Frater.... terima kasih ya sudah baca... ^^
Verty Sari said…
Wow Mbak-ku, tulisannya luar biasa, reflektif n inspiratif. Ga perlu mmiliki rambut berjambul khatulistiwa atau bulu mata anti badai. Yg lbh penting mrasa nyaman n percaya dg diri sndiri, bukan hanya mbanggakan kcantikan. Kereeen mbak. You are smart, confident, and beauty :)
ahahahahaha.......perlu di tag di FB/twitter nya diajeng pemilik jambul katulistiwa kah? ^^ Thanks ya Ve, sudah mau baca dan tulis komen... Dirimu juga luar biasa, dear... tetap cantik apapun adanya dirimu... (sungguh.....) *peluk sayang opung..... hehehehe

Popular Posts