Pantaskah saya jadi psikolog?

Supaya Anda tidak kaget, pertama-tama saya akan bilang dulu bahwa tulisan ini akan nampak lebih serius disbanding biasanya, dan ditujukan untuk kalangan tertentu yaitu psikolog dan mahasiswa psikologi, teman-teman seperjuangan saya. Meski, saya sendiri berharap semoga tulisan ini bisa menginspirasi profesi yang lainnya.




Tulisan ini merupakan intisari dari obrolan yang sering saya lakukan bersama 3 orang , yang saya anggap sebagai sahabat, kakak, rekan kerja, sekaligus supervisor “bayangan” di sebuah pusat rehabilitasi, tempat saya magang sebagai psikolog muda selama 2 bulan ini. Kami berempat punya hobi yang sama, ngobrol. Entah sudah berapa tempat kami singgahi, mulai dari ruangan kantor, sampai berbagai tempat makan, mulai dari yang merakyat seperti warung borjo dan nasi uduk, sampai yang agak elit sedikit, yaitu restoran fast food. Dan kalau sudah ngobrol, bisa berjam-jam lamanya, sampai pernah hingga tengah malam (padahal jam kantor hanya sampai jam 4…hehehe).


Saya sendiri sangat menikmati bisa ngobrol dengan mereka. Dari berbagai topik yang kami bicarakan, ada banyak hal yang menyangkut mengenai profesi psikolog dan dunia psikologi. Menurut saya, pendapat mereka sangat bernas dan inspiratif. Sayangnya kok ya hanya saya, sebagai mahasiswa psikologi, yang mendengarnya. Padahal menurut saya bagus kalau teman-teman mahasiswa psikologi lain ikut mendengar. Apalagi ini merupakan pendapat dari para user. Oleh karena itu, dan atas dorongan mereka juga, saya menuliskannya di blog ini. Dan inilah dia…


Bagi kami, mahasiswa profesi psikologi, kegiatan PKP (Praktek Kerja Profesi atau kalau di kedokteran disebut dengan co-ass) bisa menjadi semacam kawah candradimuka. Dalam kegiatan tersebut kami akan berperan sebagai psikolog yang sesungguhnya (meski dibawah supervisi tentu saja), dan berhadapan dengan klien dalam wujud dan permasalahan yang beraneka rupa. Kami juga ditantang untuk bisa mengaplikasikan ilmu kami sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan di lapangan. Pada prakteknya, proses itu tidak mudah, karena selain kami harus berhadapan dengan klien yang notabene manusia dengan segala kompleksitasnya, kami juga harus berhadapan dengan diri sendiri yang yaaaah..sama juga kompleksnya, bahkan seringkali masih harus membereskan permasalahan diri sendiri. Masalahnya adalah apakah kami siap menghadapi itu semua?




Nah, di mata teman-teman saya itu, kebanyakan psikolog muda, dari berbagai angkatan, yang magang tampak belum siap untuk terjun di lapangan. Masih mentah, begitu kata mereka. Kelihatan dari mana sih? tanya saya. Kelihatan dari mana-mana. Rupanya kementahan kami ini terlihat sekali dari bagaimana kami bersikap dan berperilaku, tidak hanya saat berinteraksi dengan klien, tapi juga saat berinteraksi dengan sistem, staff lembaga yang lain, dan peraturan. Kebanyakan mahasiswa mapro cenderung mengalami euforia terhadap ilmunya, sehingga penerapan di lapangan menjadi sangat kaku dan tidak fleksibel. Sebagai contoh, kalau sudah merencanakan rencana terapi A ya penerapannya harus A. Padahal situasi di lapangan sangat mudah berubah. Akibatnya, klien menjadi objek belaka, dan bukan subjek. Terlebih lagi, kalau sudah dikejar tenggat waktu ujian laporan..hehehhe. Parahnya, hal tersebut dirasakan oleh klien, sehingga tidak jarang klien “mutung” alias “ngambeg” atau berulah yang lain. Pernah mengalami ini? ^^ Saking euforianya, sampai-sampai segala sesuatu dibahas dengan sudut pandang teori tertentu, termasuk membahas diri sendiri. Sebagai contoh, kalau mendapatkan evaluasi, maka yang dikatakan adalah “jadi saya harus bla..bla..bla. karena saya..bla..bla..bla”,tapi itu semua ada di tataran kognitif belaka. Segala sesuatu pun dipikirkan dengan kognisi dan direncanakan dengan seksama, bahkan hal sepele seperti melakukan “building rapport” dengan orang dan etika dalam berelasi. Ini menjadi hal yang aneh, karena hal-hal dasar seperti berinteraksi dengan orang lain belum dikuasai secara fleksibel.


Hal tersebut sekaligus sebagai bukti bahwa kami masih berada di menara gading yang anggun (begitu saya membahasakannya), tidak down to earth, bahkan terkesan menjaga jarak dan kurang berani mendobrak. Entah ketakutan apa yang sebenarnya kami rasakan, begitu kata mereka. Sebagai contoh, terlihat dari gaya berpakaian kebanyakan dari kami, yang dianggap kurang bisa diterima oleh klien, karena terlalu dandy dan lux. Belum kalau yang perempuan, dandanannya menor alias berlebihan. (hehehehe..). Disamping itu, beberapa diantara kami juga masih belum menemukan jati diri, sehingga tampak kaku dan “aneh” dalam interaksi sosial. Mahasiswa-mahasiswa yang belum menemukan jati diri biasanya juga cenderung menyerap segala sesuatu yang dianggap bisa mengembangkan dirinya, secara mentah-mentah. Padahal, tidak semua hal tersebut cocok untuk dirinya, sehingga terlihat aneh. Sebetulnya, jika dijabarkan satu per satu, maka ada banyak hal yang masih bisa dituliskan. Namun, hanya dari bebrapa pernyataan itu saja, saya kemudian menjadi tergelitik untuk berefleksi, sudah pantaskah saya menjadi seorang psikolog?




Jika saya menengok ke belakang, sepanjang perjalanan saya mengalami PKP, memang apa yang dikatakan oleh teman-teman saya itu ada benarnya, dan memang benar kok. Dari refleksi kemudian saya menemukan dua hal lain yang penting pula untuk direfleksikan dan ditemukan kembali, terkait dengan pertanyaan pantas atau tidaknya. Hal pertama adalah, apa sih yang menjadi motivasi dan tujuan dasar dari diri saya untuk menjadi psikolog. Hal kedua adalah, saya ingin menjadi psikolog yang seperti apa? Atau dengan kata lain, psikolog yang ideal seperti apa yang saya cita-citakan? Dua pertanyaan ini menjadi penting untuk ditemukan jawabannya, karena akan menjadi dasar dari perilaku, baik dalam keseharian maupun secara profesional. Kalau dua pertanyaan dasar ini saja belum bisa dijawab, bagaimana bisa melangkah dan berparektek dengan autentik dan fleksibel? Saya sendiri berharap bahwa jawaban yang ada bukan melulu mengkopas (copy dan paste) dari apa yang disampaikan oleh dosen di bangku kuliah, atau mencontek dari buku-buku diktat kuliah, namun jawaban yang ditemukan dari refleksi atas perjalanan hidup pribadi selama ini, sehingga jawaban itu menjadi autentik dari dalam diri. Jawaban yang muncul dari hati, dan bukan dari kognisi semata…


Satu hal yang perlu diingat bahwa proses refleksi membutuhkan sebuah kejujuran diri. Kejujuran yang dilandasi keberanian untuk melihat bopeng-bopeng yang mungkin selama ini kita sembunyikan, tapi juga melihat potensi tersembunyi yang selama ini ragu untuk kita akui. Namun, bukan berarti tidak mungkin kan? Nah, wahai psikolog muda, mumpung masih ada banyak waktu, sebelum kita mengucapkan sumpah profesi kita yang sesungguhnya dan menghadapi dunia nyata sebagai psikolog yang sunguh-sungguh psikolog, mari kita berefleksi untuk menemukan diri yang sejati. Sehingga tiba saatnya nanti, kita akan diwisuda dan mengucap sumpah dengan tulus dan bangga hati atas kemantaban diri yang kita miliki. ^^






PS: Tulisan ini terinspirasi oleh perhatian luar biasa dari 3 orang lelaki yang juga luar biasa, Hastadi Kurniawan, I Rai Hardika, dan Purbo Christianto, serta didedikasikan untuk teman-teman seperjuangan psikolog muda, terutama untuk 3 gadis seperjangan YAKKUM di kala suka dan duka, Widya Prastiwi, Rosana Ika, dan Windy Rahmadhiyanti. Teriring doa dan sayangku,






Comments

cahyo said…
Underlined your sentences:
...Mahasiswa-mahasiswa yang belum menemukan jati diri biasanya juga cenderung menyerap segala sesuatu yang dianggap bisa mengembangkan dirinya, secara mentah-mentah. Padahal, tidak semua hal tersebut cocok untuk dirinya, sehingga terlihat aneh....

Here is my commentary:
Having spent my nearly three years in Cambodia, I’ve learned that the most significant changes in my experience, the empowering, enlarging, uplifting kinds of changes, have come about through encounters with other people. I don’t just mean other people like myself. As essential as close friends are to all of us, the truly liberating encounters come when I open myself to people who are not so much I am, who come from different backgrounds, who have different interests and styles and habits and worldviews, different cultures and tradition.

Regards,
Tanto
Johanes Hastadi said…
baiklah, saya mengaku, bahwa saya adalah Hastadi Kurniawan, yang menjadi salah satu provokator, sehingga beliau menuliskan ini.

Kami bukan dewa, dan kami pun tidak sempurna, bahkan ilmu kami pun tidak setangguh teman-teman S2 yang selama ini belajar Psikologi lebih mendalam dan yang pasti kami pun sama belajar. Mungkin perbedaannya adalah, kami di bidang praktis dan berhadapan langsung dengan manusia (nya). Sehingga tidak tahu menahu mengenai teori-teori yang sudah banyak teman2 S2 pelajari.

Memang benar yang dikemukakan oleh mbak Indira, bahwa saya secara subjektif akhirnya memiliki pertanyaan kepada teman-teman Calon Psikolog. Apa minat anda masuk dan mendalami Ilmu Psikologi di S2? dan mau apa setelah itu semua selesai??

Banyak macam pastinya motivasi untuk masuk S2, semuanya pun pasti manusiawi. Dan berikutnya?? apa yang akan teman2 lakukan setelah lulus??

bekerja?? bekerja apa??

Banyak pengalaman saya, bahwa sebenarnya ilmu Psikologi ini sangat penting dan krusial bagi masyarakat. Perubahan sosial masyarakat, membantu masyarakat untuk bisa memiliki kehidupan yang lebih baik lagi. Kenapa saya berkata seperti itu. faktanya, di lapangan (masyarakat), mereka sangat membutuhkan orang-orang Psikologi untuk didampingi untuk membuat sebuah perubahan besar bagi negara ini. Kok negara ini??ya...lihatlah kanan kiri anda?? apakah anda peduli dengan orang-orang marginal itu?? Siapa yang akan mengurus mereka??

Mengandalakan pemerintah?? sudah terlalu lelah saya memikirkan pemerintah, mereka terlalu sibuk dengan perut mereka sendiri.

Orang-orang yang bergerak di dalam perubahan masyarakat (Community Building) malah kebanyakan bukan dari orang Psikologi padahal bukankah Psikologi yang harusnya "menguruus" manusia?? tetapi faktanya, bisa dihitung dengan jari orang-orang Psikologi yang terjun di sana?? pada kemana ya?? katanya penting mengurusi manusia?? yap..semua berbondong2 tidak tahu kemana..

Lalu siapa yang akan mengubah orang-orang ini (orang marginal) dari segi "manusia" nya??

ada yang pernah mengatakan kepada saya : "walah mas, ngurusi wetenge dewe we sih repot, mosok ngurusi wetenge wong liyo" ...(mengurusi perut sendiri saja masih repot, masak ngurusi perut orang lain).

yap...benar dan pikiran itu sungguh manusiawi..tetapi melihat ke kanan kiri, apakah perubahan harus dimulai dengan yang sangat besar??apa andilmu untuk negeri ini??

semua bisa dilakukan dari hal paling kecil...APA ITU? jawabannya ada dalam diri masing-masing...Negeri ini butuh generasi-generasi seperti teman-teman untuk berani mendobrak kemanusiaan. Caranya bagaimana? Sekali lagi jawabannya ada di dalam diri sendiri...

MAU JADI APA?

APA YANG AKAN DILAKUKAN?

SELAMAT DATANG DI NEGERI INI!!
Anindita Subawa said…
Indira! :)
baca tulisan kamu bikin aku jadi berpikir banyak, alasan apa yang membuat aku kelak mengambil S2 profesi. dengan ilmu seadanya bekal S1 dulu, aku berusaha 'mengejar' dan menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan sekarang sebagai guru BP di SMP. susah-susah gampang, belum lagi menghapus cap bahwa BP hanya untuk siswa yang bermasalah. sampai di sini, aku merasa ilmu S1 belum cukup. Masih ada banyak hal yang perlu dipelajari lagi, maka jadi psikolog adalah langkah berikutnya.

iya sih, ngaku juga, titel psikolog memang tampak lebih mentereng drpd S.Psi. seolah masuk S2 profesi demi titel semata, bukan panggilan jiwa sebenarnya. sehingga yang terjadi adalah mau jadi apa setelah lulus?

so, indira, thanks for sharing this! semoga tulisan ini bisa jadi bahan renungan utk memantapkan hati mengambil S2 profesi ku kelak! :)
Verty Sari said…
Ikutan nimbrung yaa.. Tulisan Mba Indi dan komen dari teman2 lain mbuat jantungku bergidik.
Jika menjawab pertanyaan di atas: apakah motivasiku masuk S2 dan apa yg akan dilakukan setelah lulus, yaa aq sudah punya jawabannya dan biarlah itu menjadi refleksi pribadiku.
Status sbg mahasiswa S2 profesi psikologi bagiku mempunyai beban tersendiri. Pandangan, penghargaan, dan pengharapan yg cukup tinggi dr orang sekitar. Seakan2 kami ini 'wah' dalam materi dan teori. Apakah benar demikian? Yaa itu akan mmunculkan pendapat yg beragam.
Bagi saya, pengalaman yg sgt berkesan dlm proses pembelajaran di kampus adalah kami diajak untuk 'membenahi diri sendiri' sebelum menangani orang lain. Apakah pembenahan diri itu efektif? Tidak bisa dipungkiri bahwa pembenahan memerlukan waktu yg panjang dan lama shg tidak bisa hanya berhenti sampai di sini.

Apakah teori kami 'wah'? Sebagai info, kami belajar teori di kampus selama 2 semester kemudian kami melalui PKP di berbagai instansi. Tentunya itu tdk cukup untuk mempelajari banyak hal mengenai ilmu jiwa.

BELAJAR ITU SEUMUR HIDUP
Yaa, dan tentunya kami (khususnya saya) perlu belajar seumur hidup saya. Kami juga membutuhkan Anda semua untuk mengingatkan, mengajari dan menegur karena apa yang didapat dalam proses pembelajaran formal kami sangat mentah jika dipraktekkan di dunia nyata.
Sesungguhnya ketika bertemu dengan orang yg disebut klien, saya belajar dari mereka. Saya merefleksikan kpd diri saya sendiri apa yang dialami olehnya.
Tentunya masih banyak yang perlu saya pelajari. Semoga saya dan Anda semua bisa menjadi partner yang saling mendukung dan melengkapi..
Selamat tahun baru dengan semangat, tujuan, dan pembelajaran yang ditawarkan olehnya :)
Anonymous said…
Indie,
Great! Superb!
dirimu menulis "Hal tersebut sekaligus sebagai bukti bahwa kami masih berada di menara gading yang anggun...". Aku suka kalimat ini. Benar, entah di psokologi, atau teologi, atau logos-logos lain, hal itu menjadi tantangan yg riil.
Ingat defens disertasi Larasati/Atik yang dihadiri Teto waktu itu? (itu lho yg membahas tingkah laku manyar jantan dalam manarik manyar betina!) Kata kuncinya memang jatidiri (seperti juga sdh kau sebut di atas). Dan itu aku duga juga berarti kedalaman dan keberanian untuk memasuki relung gelap--kadang menakutkan--bilik hati.
Aku selalu iri dengan orang-orang abad-abad yg lalu yang mempelajari banyak hal, dan semuanya dicerna secara dalam, bukan hanya pada permukaan: filsafat, sains, psikologi, musik, matematika, arsitektur (Thomas Jefferson, Albert Schweitzer). Mereka tahu apa yang mereka katakan, bukan hanya setengah-setengah dan seolah-olah tahu, atau pura pura tahu dan sok tahu!! Kedalaman, jatidiri...
Dan aku punya seorang sahabat yang juga gelisah sebagaimana dirimu, gelisah mengenai hidup yg setengah-setangah, gamang, superfisial, bahkan tentang ke-agama-an yang terbatas pada ritus yg bersifat pura-pura belaka. Nama temanku itu Kostya (Konstantin Dmitrich Levin) Kalau mau berkenalan, silakan baca Anna Karenina...:)
Johanes Hastadi said…
yang kemudian menjadi pertanyaan saya lagi adalah, ketika kita belajar Psikologi dan belum merasa 'selesai" dengan diri sendiri, kapankah akan mulai untuk mengaplikasikan ilmu ini untuk orang lain?? menunggu sampai kita 'selesai" dengan diri sendiri??

Kalau saya sendiri secara subjektif tetap memiliki cita-cita mengajak teman-teman Psikolog dan membakar jiwa teman-teman untuk terjun ke masyarakat, karena kita hidup di masyarakat. Dan bukan kalangan atas yang dicari, tetapi kalangan marginal, kaum rendahan, kaum yang perlu dilayani, dibela. Karena saya yakin, mereka butuh kita orang-orang psikologi...tetapi pertanyaan saya, siapa yang mau?? dan faktanya di lapangan sudah saya sampaikan di atas.

Terlepas dari semuanya, masyarakat tidak butuh teori dan referensi buku. Masyarakat butuh tindakan nyata dari orang-orang seperti teman-teman. Dan menunggu aksi teman-teman setelah digodok di Universitas untuk terjun ke masyarakat...

kemudian, sikap dan ilmu bagaimana ketika berhadapan dengan klien, pastinya selalu dipelajari. Mau itu sudah expert atau belum, saya setuju itu butuh sebuah pembelajaran dan sebuah proses belajar terus menerus. Yang terpenting adalah, apa yang bisa dilakukan ketika menjadi seorang Psikolog (di masyarakat), dihadapkan dengan kondisi Negeri kita yang seperti ini??

Seekor burung tidak perlu terbang tinggi untuk mencari makan ketika dia tahu ada makanan di dekatnya.
Ditha....

Gimana kabarmu bums, menunggu detik2 sang malaikat kecil menginjak bumi? semoga prosesnya lancar yah.... ^^

Thanks buat sharingnya Dit...
pekerjaanmu sekarang menantang sekali yah...
tapi aku percaya bahwa hanya orang-orang terpilih yang diberi kepercayaan untuk menakhlukkan sebuah tantangan yang besar... dan dirimu adalah salah satu orang pilihan itu..aku percaya juga bahwa suatu saat nanti, Anindita Subawa akan jadi psikolog yang hebat, karena ia dimatangkan oleh banyaknya tantangan.. ^^

TEtep semangat Dit....tiada kata berhenti untuk belajar... samudra ilmu tak kan habis diselami, seluas samudra penerapan yang riil atas ilmu itu sendiri... Maju terus yaaa.... Chayooo!!! *peluk sayang....
Suryo....

kadangkadang aku merasa bahwa aku ini mirip Atik..hehehhe... iya ga sih? ^^ (itu kataku looh)

aku sendiri selalu tergoda untuk menyerap ilmu secara dalam, yang kadang-kadang mengarah pada kompulsi...
tapi kemudian aku merasa dan berpikir... untuk apa aku menyerap ilmu sampai sebegitu dalamnya, dan selalu merasa haus? apakah hanya untuk diriku sendiri? rasanya egois sekali ya...

sampai kemudian di satu waktu, aku tersadarkan untuk memberi sebanyak mungkin yang aku punya kepada sebanyak mungkin orang... bukankah kita ini hanya sebuah sarana...untuk sesuatu yang lebih besar dari sekedar keagungan diri?

meski masih merasa bahwa ilmu sedikit dan hanya superfisial, mari buat langkah yang konkrit.. untuk sekitar kita... sekecil apapun itu...

semangaaaat!!!
Vertoong..cucuku tersayang..ehehehhe....

Opung suka kalimatmu... belajar itu seumur hidup.. yup betooooooollllllll sekali...

mari kita terus belajar.. karena kemauan untuk belajar adalah bukti kerendahan hati dari sebuah pribadi...

sembari belajar, mari kita lakukan sesuatu, apapun yang bisa kita lakukan... entah profesi dan peran apa yng sedang kita sandang... to be man and women for others... ^^

Popular Posts