PULANG..

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan menghadiri acara pemakaman seorang rekan kerja, Pak Wid namanya. Dia seorang guru, yang sudah membaktikan 20 tahun dalam hidupnya untuk mendidik anak-anak penyandang difabel di tempat saya magang. Bagi saya kepergiannya sungguh mengejutkan. Masih segar di ingatan, baru beberapa hari sebelumnya kami masih sempat berbincang banyak tentang anak-anak, dan setelah itu kami belum bertemu lagi. Rupanya pertemuan hari itu, adalah pertemuan terakhir kali kami.

Pertemanan kami bisa dibilang cukup singkat, hanya 2 bulan. Namun darinya saya belajar banyak, sehingga saya merasa kehilangan. Saat saya menghadiri pemakamannya, saya melihat begitu besar cinta dan kesetiaannya dalam bekerja, untuk mendidik anak-anak. Bagaimana tidak, rumahnya di kaki merapi, yang berkilo-kilo meter jauhnya dari tempat kerjanya, dan medannya menjadi semakin sulit sejak gunung itu meletus tahun lalu, belum lagi jika hujan datang. Sementara Pak Wid sendiri juga seorang difabel, sehingga mobilitas pun tidak selincah orang yang bukan difabel. Di mata orang kebanyakan, karya yang setia dijalaninya selama 20 tahun ini mungkin bukan karya yang wah dan mentereng, karena tidak dilimpahi dengan berbagai macam materi dan kedudukan. Namun, di cara pemakamannya, saya merasakan bahwa ia dilimpahi dengan begitu banyak cinta dari keluarga, sahabat, rekan kerja, dan anak didik, berikut keluarga mereka. Saya teringat akan pidato obituari dari seorang rekan kerja, yang mengatakan bahwa karya Pak Wid mungkin tidak bisa dinilai dengan materi, namun apa yang sudah dilakukannya selama ini telah memberi harapan bagi anak-anak didiknya yang  dipandang sebelah mata oleh orang lain, untuk  menjadi lebih berdaya, meraih mimpi yang lebih besar, tidak hanya untuk dirinya sendiri namun juga sesama. Saya pun mengamininya dengan sepenuh hati, dan apa yang sudah dilakukannya adalah teramat berarti. Ia pulang kerumah penciptanya dengan sebuah makna, memenuhi hidup dengan keberartian.



Sebuah kesempatan untuk menghantarkan orang yang saya kenal untuk pergi ke peristirahatannya yang terakhir, senantiasa membuat saya merenung. Bagaimana jika orang yang dihantarkan pulang itu adalah saya? Saya pun seolah-olah diajak untuk melihat lagi pengalaman hidup saya ke belakang, apa yang sudah saya perbuat, tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga orang-orang di sekitar saya? Apa yang sudah saya lakukan dengan talenta, kesempatan, dan rejeki yang telah dengan suka ria dan cuma-cuma Tuhan berikan dalam hidup saya? Bagaimana saya akan mempertanggung jawabkan hidup saya kelak jika saya dipanggil pulang oleh-Nya?

Bisa jadi pertanyaan-pertanyaan saya diatas dianggap aneh oleh orang lain. “Masih muda kok sudah mikir mati, nikmati saja lah apa yang ada.” Tapi, untuk saya kematian itu penting untuk direnungkan. Kita tidak pernah tahu kapan dan dengan cara apa kita akan dipanggil pulang oleh-Nya. Bisa saja saat ini saya sedang asyik menulis dan tertawa-tawa dengan keluarga saya di rumah, tapi esok harinya, saya sudah terbujur kaku di peti jenazah. Yah, hidup dan mati itu tipis batasnya. Karena itulah sebuah kemtian perlu dipersiapkan. Persiapan bukan melulu mengenai harta warisan dan barang peninggalan, atau dimana dan dengan cara apa saya akan dikebumikan, tapi untuk saya peribadi, adalah bagaimana saya mengisi hidup, yang tidak tahu kapan akan berakhir ini. Apakah hidup saya akan diisi dengan kebaikan yang melimpah dan saya lakukan dengan tulus dari lubuk hati terdalam, bukan sekedar karena pahala supaya bisa masuk surga belaka? Atau justru dengan keburukan, yang tidak hanya merugikan orang lain, tapi juga diri sendiri. Ibarat kapal, kemanakah dan dengan cara apakah saya menahkodainya?



Yah, selagi masih muda, selagi masih ada banyak kesempatan dan energi. Selagi masih diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan memperbaiki lagi sehingga menjadi lebih bermakna untuk jangkauan yang lebih luas. Tidak perlu menunggu tua, saat tubuh sudah merenta dan daya jelajah semakin terbatas. Tidak perlu pula menunggu saat sudah terbujur hampir kaku, di tempat tidur, dengan nafas yang hanya tinggal satu-satu, dan hanya penyesalan yang tersisa. Waktu itu adalah saat ini, selagi masih ada waktu… Hingga suatu saat nanti, saat saya dipanggil pulang ke rumah-Nya, saya akan pulang dengan bahagia. Bahagia, karena telah mempersembahkan yang terbaik dari diri, persembahan terindah untuk-Nya sang pencipta.

Nobody can go back and start new beginning,
but anyone can start today and make a new ending…




PS: Selamat jalan Pak Wid, saya percaya Bapak bahagia disana..

Comments

cahyo said…
Perjalanan penelusuran literatur-literatur tentang kematian, pengalaman berhadapan dan merefleksikan kematian orang-orang dekat yang saya kenal, tidak serta-merta menjawab atau menjelaskan seluruh rasa keingintahuan saya tentang kematian. Sebuah perjalanan yang tidak mudah karena kematian sebagai misteri selalu menyediakan pertanyaan-pertanyaan baru. Perjalanan ini ibarat mencari lalu menyusun kepingan-kepingan kebenaran secara lengkap. Dan ia misteri, ibarat teka-teki yang tak pernah selesai untuk dilengkapi di dunia. Namun dari kepingan itu kita bisa melihat sekilas dari gambaran yang lebih besar dan melihatnya sebagai keindahan kehidupan.
cahyo said…
kenapa comment gak bisa terlihat ya?
Unknown said…
Never take life seriously. Nobody gets out alive anyway.

Itu bio twitternya salah seorang teman,,, kalau aku memaknainya supaya kita lebih ikhlas dalam menjalani kehidupan ini. Misalnya target yg belum tercapai, keinginan yang belum didapat,, itu tidak menjatuhkan kita.

karena kita tau, Tuhan hanya meminta kita utk melakukan yang terbaik. Itu saja. :)
Anonymous said…
Zaman dulu ada pepatah bahasa Latin, "memento mori", ingatlah kematian, sadarlah bahwa kau bukan makluk immortal! Yang paling populer akhir-akhir ini adalah "memento mori"nya Steve Jobs: 'menyadari bahwa diriku akan mati dalam waktu dekat menjadi cara bagiku untuk membuat pilihan-pilihan besar dalam hidupku'.
tapi bahayanya memang hidup jadi terlalu serius ...
yang namanya "terlalu" (bahkan "terlalu baik" sekalipun) hampir selalu negatif, kan? eheheh
suryo.. merenung tentang kematian tidak harus selalu dibuat serius kan.. jalani saja hidup dengan sepenuh hati.. ^^
Anonymous said…
Indie, iya, betul, tidak selalu perlu serius...
Eh, tapi kata serius pun agaknya perlu dibedah. apa artinya serius? apakah serius selalu berarti jidat berkerut tanpa ada senyum? sepertinya tidak, karena orang tetap bisa serius dan sekaligus rileks. Sebab, lawan kata rileks adalah tegang (CMIIW), sedangkan serius tidak sama dengan tegang. So, IMHO, agaknya "mengingat kematian" berarti mau mengatakan bahwa hidup terlalu berharga untuk dibiarkan tercecer tidak termaknai (hahah ini sudah menjadi terlalu moralis!, actually i don't like to be such).
Pernah nonton film "Dead Poet's Society", kan? Nah, di sana ada kutipan menarik dari Thoreau "suck the marrow out of life". Seperti kalo kita makan ayam, terutama bagian ceker, sedotlah sumsum tulang ayam itu sampai habis... Sedotlah sumsum kehidupan, jangan biarkan ada yang tercecer...

Popular Posts