Kalau CInta Jangan Hanya di Bibir Saja…


Hai.. Haloo… Bagaimana kabar di tahun yang baru ini? Selamat tahun baru ya.. Semoga hidup menjadi lebih bermakna ya di tahun ini. Berhubung ini tahun baru, sebenarnya saya sudah berencana untuk menulis mengenai resolusi, tapi rupanya hati lebih terdorong untuk menulis tentang cinta, sehingga rencana tinggalah rencana, dan saya memilih untuk mengikuti dorongan hati.



Dorongan untuk menulis mengenai hal-hal berbau cinta lahir tadi pagi, saat baru saja bangun tidur, dan tiba-tiba teringat oleh sebuah sms dari teman perempuan. Beberapa hari lalu, teman saya itu mengirimkan sms yang diakhiri dengan tulisan “We love you…”, lengkap dengan tanda smiley senyum dan kecupan. Kalau orang yang sedang jatuh cinta menerima sms seperti itu, tentu hati terasa berbunga-bunga ya. Akan tetapi, untuk saya sendiri justru menjadi eneg rasanya. Akhir-akhir ini, saya memang sedang berkonflik dengan teman saya itu, mengenai pekerjaan yang kami tangani bersama. Kalau tidak salah, sms dengan kata-kata seperti itu sudah pernah dikirim lebih dari sekali, dan tetap saja masih terus-terusan dibuat jengkel olehnya dalam bekerja. Pada akhirnya, kata cinta pun menjadi terasa hambar..

Pengalaman kecil itu kemudian membuat saya merenung, mengapa kata cinta yang indah, bahkan sering diucapkan, bisa menjadi terasa hambar? Saya kemudian menyadari, bahwa dalam interaksi sehari-hari, cinta sering terungkap hanya di bibir saja. Ketika bertemu dengan teman yang sudah sekian lama tidak ketemu misalnya, begitu bertemu langsung berujar “aduh, kangen deh sama kamu.” sembari peluk dan cipika-cipiki. Padahal, hati kecil berkata “kapan ya aku kangennya, perasaan ga pernah deh (sambil sibuk mencari-cari peristiwa terakhir rindu dengan teman itu).” Pernah mengalami peristiwa itu? Saya saja pernah, sering malah.. Dengan pacar misalnya, begitu mudah untuk berujar “sayang deh sama kamu”, tapi sedetik kemudian mengomel panjang dan lebar karena sang kekasih tercinta, yang katanya disayang, tidak menuruti keinginan (kalau ini biasanya dilakukan oleh perempuan, bukan begitu saudara-saudara? ^^). Atau dengan orang tua misalnya, di telepon berkata rindu dan sayang, akan tetapi jika orang tua meminta anaknya untuk hadir di rumah, karena beliau membutuhkan, maka seribu alasan ketidakhadiran dilontarkan (seperti iklan sebuah jamu di televisi itu tuh). Atau contoh yang ekstrim, pasangan suami istri yang gemar bertengkar. Malam ini sang suami bilang sayang, tapi malam berikutnya ia pula yang menampar istrinya habis-habisan, dan setelah itu meminta maaf dan mengaku khilaf. Begitu seterusnya, berulang kali, hingga bertahun-tahun. Ironis bukan? Yah..acapkali cinta hanya berakhir di bibir saja. Cinta menjadi sekedar basa basi dan pepesan kosong yang tidak ada buktinya.

JIka saya mesuk lebih dalam kedalam diri, saya menemukan bahwa seringkali cinta banyak diumbar melalui kata, sebagai kompensasi dari rasa bersalah karena belum mewujudkan cinta itu dalam aksi yang konkrit. Terkadang cinta juga berakhir hanya sebatas kata, agar diri ini tetap terlihat sempurna, baik di mata orang lain maupun diri sendiri. Agar orang lain tetap memaklumi dan memandang positif diri saya (“ya tidak apa-apa kalau dia begitu,  dia kan sudah ngomong maaf, sayang, kangen” begitu yang saya pikirkan mengenai omongan orang lain atas diri saya), dan diri sendiri tetap merasa aman (“paling tidak kan saya sudah bilang yang berbau-bau cinta pada orangnya”, begitu batin saya). Sebetulnya, ada rasa malu yang memanggil, namun diabaikan begitu saja, karena lagi-lagi kesemuanya itu semata-mata untuk melindungi ego ini agar tidak terluka. Padahal kalau dirasakan lebih dalam, cinta yang sebatas kata menjadi terasa hambar dan membuat hati terasa hampa. Saya sendiri saja hampa, apalagi orang yang mendengarnya. Bukankah emosi dan perasaan itu menular? Begitu yang sering saya dengar di bangku kuliah. Apalagi kalau sering diucapkan, namun hanya di bibir saja, rasanya kok semakin hampa.



Pengalaman kehampaan itu membuka hati dan pikiran saya untuk mewujudkan cinta dalam aksi yang konkrit, yang tidak hanya cukup terdengar oleh telinga, namun juga dapat dialami, baik secara hati maupun jasmani, baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Hai ini dteguhkan oleh sekian banyak peristiwa sehari-hari yang menunjukkan adanya perwujudan cinta, yang dapat teraba oleh hati maupun jasmani, meski tanpa diirngi oleh kata-kata berbau cinta.

Satu peristiwa yang menurut saya sangat mengesankan adalah cerita dari sahabat saya tentang perjuangan seorang lelaki penyandang difabel di Kamboja. Lelaki itu seorang ayah dari beberapa orang anak yang masih kecil. Sebagai seorang ayah, tentu ia bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarganya. Apa daya, saat berjuang mencari nafkah itu, ia terkena ranjau di hutan, sehingga menyebabkan ia kehilangan satu dari kedua kakinya. Setelah sembuh, dengan menggunakan kaki palsu, ia kembali lagi ke dalam hutan yang sama untuk mencari kayu bakar, karena mereka tidak punya sumber pendapatan lain. Naas, ia kembali terkena ranjau, sehingga harus kehilangan kaki yang satunya lagi. Setelah mendapatkan kaki palsu, ia kembali beraktivitas, mencari kayu bakar di hutan yang sama, demi tuntutan hidup yang menghimpit. Akhirnya, ia meninggal setelah terkena ranjau untuk ketiga kalinya.



Kisah ini membuat saya merinding dan menangis. Meskipun tidak mengalaminya secara langsung, namun saya bisa merasakan cinta yang begitu besar dari seorang ayah untuk keluarganya. Saya yakin bahwa lelaki itu jarang dan bahkan tidak pernah menyatakan kata cinta itu sendiri dalam bentuk kata-kata, namun ia berhasil menunjukkan cintanya dengan cara yang autentik dan konkrit, melampaui keterbatasannya, tidak hanya bagi keluarganya, namun juga bagi saya yang tidak pernah mengenal dia, dan bahkan tinggal ribuan kilometer dari rumahnya. Saya percaya bahwa cinta yang demikian adalah cinta yang tulus, yang tidak meminta syarat apa-apa, dan bukan dengan tujuan untuk menutupi kelemahan diri maupun mencapai kemuliaan diri. Cinta demikianlah yang bisa menggetarkan dan membahagiakan, tidak hanya diri sendiri, namun juga orang lain. Saya, pun tertunduk malu dibuatnya.

Saat saya menulis mengenai hal ini, bukan berarti saya menganggap bahwa mengatakan hal-hal yang berbau cinta adalah haram. Saya rasa, perlu juga untuk mengatakannya, karena terkadang orang tidak cukup puas dengan merasakan perbuatan, namun juga perlu disertai dengan perkataan (apalagi perempuan..hehehehe). Namun, saya berharap bahwa cinta tidak sekedar hanya di bibir saja, namun disertai dengan aksi yang autentik, tulus, dan konkrit. Tidak hanya sepihak, manun saling. Bukankah cinta terwujud dalam saling memberi dari kedua belah pihak, dalam artian: yang mencintai memberi dan menyerahkan kepada yang dicintai, begitu pula sebaliknya, yang dicintai kepada yang mencintai. Mumpung hari ini adalah tahun baru, momentum yang tepat untuk memulai sesuatu yang baru,dengan niat yang tulus. Mari mencintai, berbagi cinta..berbagi kebahagiaan… mulai sekarang, mulai saat ini…



Salam sayang,

Indira Partosoebroto




Comments

Anonymous said…
rasa dan perasaan sebenernya berdiri di atas momentum...
Unknown said…
ada kata2 yg aku suka dr seseorang "terima kasih utk tidak mengumbar rasa sayang sehingga kata2 itu berharga mjd utk didengar :)
rasa dan perasaan sebenarnya berdiri di atas momentum...
cukup diterima, tanpa perlu dihakimi...

Duuud....
jadi ingte, pernah bilang sama seseornag... biar hati yang merasa, meski tidak tertuang dalam kata....
cahyo said…
Without even thinking or making an effort, in LOVE We transcend ourselves as, miraculously, we act in the best interest of someone other than ourselves-the one or the ones we love-child, brother, sister, mate, or friend.

Regards,
Tanto

Popular Posts