Sang Juara nomor 1!

Inspirasi akan tulisan ini datang saat saya sedang duduk bersama dengan keluarga di meja makan. Ya, meja makan di rumah yang sudah setia menemani perjalanan hidup keluarga kami selama hampir 30 tahun. Dia menjadi saksi atas banyak peristiwa yang terjadi selama ini. Kalau tidak percaya, coba tengok foto-foto keluarga, pasti setting nya di meja makan (hehehe..).

Saat itu, kami baru saja selesai makan malam, dan seperti biasa, kami masih melanjutkan obrolan, tentang banyak hal. Entah kenapa, tiba-tiba mata saya terpaku pada wajah Bapak, ibu dan adik saya. Rambut Bapak dan Ibu saya yang dahulu ikal dan legam, sekarang memutih dan botak disana sini. Kulit pun sudah mengeriput, dengan kutil-kutil pecahan pigmen yang banyak bermunculan. Adik saya, yang dulu pendek dan gemuk, sekarang sudah tinggi besar dan menjulang. Rasanya baru kemarin saya duduk di bangku SD, lalu menikmati masa remaja di masa SMP dan SMA, habis-habisan di bangku kuliah, dan sekarang usia saya sudah lewat seperempat abad. Ah, baru saya sadari, betapa cepatnya waktu berlalu.

Tiba-tiba ingatan saya melayang ke masa lalu, menelusuri jejak-jejak hidup bersama Bapak dan Ibu. Diam-diam saya merenung, menyecap kembali rasa dari peristiwa yang pernah saya alami dengan mereka, dan lalu melihat jauh ke dalam diri, diri saya yang saat ini. Satu kalimat yang bergaung di hati, saya tidak akan menjadi seperti saat ini, tanpa kehadiran mereka, Bapak dan Ibu.



Saat melihat Ibu, peristiwa pertama yang saya ingat adalah saat saya berumur 5 tahun, digandeng oleh Ibu menuruni lembah di Sungai Winongo, untuk menjenguk teman-teman sebaya saya yang kurang beruntung di Perkampungan Sosial Pingit. Pertemuan dengan mereka sungguh membekas di hati saya. Betapa waktu itu saya datang dengan pakaian bagus sambil membawa setumpuk majalah Bobo kesayangan yang sudah bolak-balik saya baca, sedang kan mereka menemui saya dengan pakaian kotor penuh debu, rambut memerah dan tidak disisir, serta membaca pun tidak bisa. Waktu itu saya berpikir, kenapa mereka tidak seperti saya, dan tidak terasa air mata menggenang di pelupuk. Sungguh, perjumpaan itu sangat saya syukuri, dan hati saya saat ini berbisik “Terima kasih Ibu, sudah mengajak saya untuk mensyukuri hidup dan peduli dengan mereka yang lemah dan tersingkir.”

Di usia 5 tahun itu juga, untuk pertama kalinya saya berpisah untuk waktu yang lama dan lokasi yang jauh, karena Ibu harus bertugas di Kalimantan. Sungguh saya merasa sedih, karena takut terjadi sesuatu dengan Ibu dan kehilangan dirinya. Apalagi Bapak bekerja di luar kota, sejak usia saya masih dalam hitungan bulan, dan saya belum punya adik. Sebuah buku dongeng berjudul “Burung Emas” yang dibelikan Ibu sebelum Ibu pergi akhirnya menjadi teman saya, pengganti Ibu. Setelah saya besar, saya baru menyadari bahwa saat itulah saya sedang diajar akan arti sebuah kemandirian, keberanian untuk lepas dari orang tua. Suatu hal, yang sangat membantu perjalanan hidup saya saat usia semakin dewasa.

Ingatan kemudian membawa saya pada usia 6 dan 7 tahun, saat saya sudah duduk di bangku SD. Pernah pada suatu saat, saya diminta Ibu untuk berjualan kacang bawang buatan Ibu di sekolah. Lalu, sepulang sekolah saya diminta untuk berjualan kue apem keliling kampung sambil bersepeda. Orang-orang sampai heran, karena anak sekecil saya berjualan. Saya sendiri tidak perduli dengan omongan mereka. Rasanya bangga sekali kalau barang dagangan ludes terjual, dan sepeda lalu saya kayuh kencang-kencang agar bisa segera sampai rumah untuk bercerita. Rupanya diam-diam Ibu sedang mengajar saya untuk giat dan tangguh dalam berusaha. Tidak perlu malu mengerjakan pekerjaan apapun, bahkan yang mungkin dipandang sebelah mata oleh orang lain, asalkan pekerjaan itu tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

Peristiwa lain yang saya ingat adalah saat saya berusia 12 tahun. Suatu pagi, Ibu mengajak saya untuk bepergian. Dengan dibonceng sepeda motor, saya diajak untuk menjelajah candi-candi di sekitar Jalan Yogya-Solo. Waaah, puas rasanya bisa melihat banyak candi yang kemarin-kemarin hanya bisa dilihat di buku. Rupanya Ibu tahu bahwa salah satu minat dan kecintaan saya adalah dunia sejarah dan purbakala. Terima kasih Ibu, sudah mendukung saya untuk mencintai apa yang saya minati.



Ingatan saya kemudian diajak berkelana ke peristiwa-peristiwa yang berbeda saat melihat Bapak. Dalam hati saya tertawa, dulu, Bapak adalah musuh saya nomer satu di rumah. Seringkali kami bertengkar, tidak saja pertengkaran kecil, tapi juga pertengkaran besar yang membuat saya mengharu biru. Biasanya sih karena perbedaan pendapat. Sampai-sampai Ibu bilang, saya dan Bapak ini sering bertengkar karena punya weton (hari lahir) Gehing, alias Wage dan Pahing, yang menurut budaya Jawa memang selalu tidak rukun satu sama lain. Apapun yang terjadi, bagi saya, hidup bersama Bapak adalah pembelajaran terbesar untuk bisa menerima orang lain apa adanya dan menjembatani perbedaan dengan indah. Sungguh suatu hal yang sangat berarti, terutama saat berinteraksi dengan dunia yang semakin luas dan beragam.

Ingatan saya tentang sosok Bapak yang pertama kali terlintas adalah saat saya duduk di bangku SD. Saya ingat betul, Bapak dengan setia mengantar jemput saya ke sekolah. Ada suatu masa, saya diantar dengan menggunakan sepeda motor tua milik kantor Bapak. Sebenarnya saya malu juga dengan teman-teman sekolah. Pikir saya waktu itu “Ngapain sih pakai motor jelek gini, kan ada yang bagus di rumah.” Tapi Bapak tetap bergeming dan terus mengantar saya menggunakan sepeda motor itu. Baru setelah saya besar, saya sadar bahwa saya sedang diajar tentang arti kesederhanaan dalam hidup. Tidak perlu malu menjadi orang yang sederhana, dan tetaplah hidup sederhana, meski sebenarnya mampu.

Selain antar jemput ke sekolah, Bapak adalah “sopir” setia saya kemanapun saya berkegiatan. Sejak SD, saya selalu aktif dalam kegiatan yang seringkali harus diselenggarakan di luar sekolah. Tidak peduli panas dan hujan, dan berapapun jarak nya, kalau saya ada jadual untuk berkegiatan, maka Bapak akan mengantar saya pergi dengan sepeda motornya. Jadilah Bapak mengantar saya, bahkan tidak jarang menunggu sekian jam lamanya, sambil mengobrol dengan sesama “sopir”, agar saya bisa latihan dan lomba menari, menyanyi, menggambar, menulis, dan masih seabrek aktivitas lainnya. Kesemuanya itu dilakukan Bapak dalam diam, tidak pernah menggerutu apalagi mengeluh. Saya sungguh bersyukur atas apa yang telah dilakukan Bapak untuk saya, sungguh sebuah kesetiaan yang indah untuk membiarkan anaknya tumbuh dan berkembang.

Ingatan saya kemudian dibawa saat usia saya menginjak remaja. Bapak adalah orang yang paling keras memberikan berbagai macam aturan untuk saya. Tidak boleh pergi malam dan berpacaran adalah dua diantaranya. Gara-gara aturan itu, hingga sekarang saya tidak terbiasa dengan dunia malam, dan selalu menjadi manusia siang, kecuali jika ada kegiatan yang penting dan mendesak. Pernah suatu saat, saya dikirimi surat oleh Bapak, sungguh-sungguh surat tulisan tangan, yang isinya melarang saya untuk berpacaran, gara-gara mulai ada lelaki yang mendekati saya. Padahal, waktu itu saya sudah mahasiswa tingkat awal. Alasan Bapak bisa dianggap klasik, takut kegiatan akademik saya terganggu. Surat itu membuat saya mengharu biru dan putus asa. Terlebih lagi, saat akhirnya saya boleh berpacaran, dan sudah berhubungan selama 3 tahun, saya diminta untuk tidak melanjutkan hubungan tersebut. Rasanya marah sekali pada Bapak, karena merasa selalu dikekang.

Namun, seriring berjalannya waktu, sekarang saya pahami, bahwa Bapak sungguh ingin anaknya terlindungi dan bahagia. Bapak sungguh mendukung saya untuk mengembangkan potensi saya seoptimal mungkin, dan Bapak selalu memastikan bahwa saya damai dengan hidup saya. Satu perkataan Bapak yang sangat saya ingat, saat saya masih melajang, sementara banyak teman sudah menikah dan berkeluarga “Coba lihat, bukannya kamu lebih bahagia sekarang dibandingkan dengan dulu waktu masih pacaran. Bapak nggak apa-apa kamu tidak menikah, asalkan kamu bahagia.” Sungguh sebuah dukungan luar biasa yang sungguh saya syukuri, atas kondisi dan proses hidup yang saya jalani.

Ingatan-ingatan itu hanya sepenggal dari begitu banyak ingatan hidup saya bersama Bapak dan Ibu. Satu hal yang pasti, saya sangat mensyukuri kehadiran mereka. Sungguh saya merasa dicintai oleh mereka, dan saya merasa Tuhan mencintai saya melalui kehadiran Bapak dan Ibu. Tanpa kehadiran dan sentuhan Bapak dan Ibu, saya tidak akan menjadi diri saya seperti saat ini. Dan saya percaya bahwa mereka akan selalu ada, menemani dan mendukung, sepanjang perjalanan hidup saya, sepanjang masa. Bapak dan Ibu akan selalu kekal, menjadi juara nomor satu, di hati saya.



Apa yang sudah, sedang, dan akan saya perjuangkan dan capai
adalah persembahan untuk keran cinta abadi saya. Teriring doa untuk Bapak dan Ibu,
Indartono & MJ Retno Priyani


Comments

cahyo said…
sepertinya, link ke youtube ini akan melengkapi tulisanmu ini.
Tks for sharing!
http://www.youtube.com/watch?v=g0sihX98mAw
atmo said…
tak kiro pertamax, ....kalah karo yang di atas ini hehehe...
joss nduk...seneng aku karo tulisan di atas, pengalaman, dalam, bisa berjarak dan ....kok malah tidak terasa sentimentil ya hehehe...(ketok nek bergulat ki)
mahatmaberkata-kata.blogspot.com said…
tak kiro pertamax, ....kalah karo yang di atas ini hehehe...
joss nduk...seneng aku karo tulisan di atas, pengalaman, dalam, bisa berjarak dan ....kok malah tidak terasa sentimentil ya hehehe...(ketok nek bergulat ki)
Ahhaahha... Sejak kapan Ter aku ngiklan pertamax. But, thanks lho ya sudah baca tulisan ini. Aku yo jadi tambah semangat nulis klo ada orang suka sama tulisanku.. :D alih profesi wae po yo? Ahahhaahaha...
Anonymous said…
yang pertama kali ketika mendengar kata Ayah yang ada di benak saya adalah seorang yang sudah tua, tingginya sebahu saya, rambutnya sudah memutih, kulit keriputnya sudah mulai memberikan kesan kurus, tawanya sudah tidak lagi seperti dahulu lagi, dan senyumnya berkata "Selamat datang Nak".

Dan ketika saya mendengar kata Ibu, yang ada di benak saya adalah terbaring, berkata pun tidak jelas, rambutnya sudah mulai memutih, dan selalu menatap saya penuh tanya, "apa kabarmu Nak?"...

Memori indah waktu itu sudah mulai terkikiskan dengan apa yang ada sekarang. Bukan kesedihan yang saya ceritakan, tetapi kehebatan mereka untuk selalu berusaha mengenali saya sebagai anaknya, dan selalu mengingatkan saya bahwa anak adalah sebuah cinta kasih yang harus selalu diberikan sebuah perhatian apapun kondisinya....


Mereka(orang tua saya) HEBAT-ku

sama seperti...SATU-mu
Anonymous said…
namaku tidak muncul ya...komen di atas dari saya

Hastadi K

Popular Posts