Aku… Kamu.. SAMA



Hari ini, tepat 6 hari sudah saya belajar bersama teman-teman difabel di sebuah panti rehabilltasi. Apa yang saya jalani saat ini, tidak terlepas dari tanggung jawab saya sebagai mahasiswa profesi psikologi untuk magang sebagai psikolog. Tempat ini adalah tempat perhentian ketiga, setelah Puskesmas dan RSJ, dan menjadi tempat pilihan, dalam arti sebenar-benarnya, karena saya memilih dan bukan dipilihkan oleh kampus. Alasan saya memilih tempat ini adalah karena saya ingin belajar dari mereka, teman-teman difabel. Sepanjang hidup saya, amat sangat jarang (hanya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan), saya bersentuhan dengan mereka, dan itu menimbulkan ketertarikan tersendiri untuk menyelami hidup mereka. Selain itu, saya selalu kagum dengan orang-orang yang memiliki keterbatasan namun berani menghadapi hidup. Pada akhirnya, terdamparlah saya di tempat ini.








Pada awal saya tiba di tempat tersebut, saya sempat mengalami kejadian yang unik. Suatu saat, saya bersama 3 orang teman sesama mahasiswa datang ke sebuah kelas, dan sebagai ornag baru, kami pun memperkenalkan diri dengan teman-teman difabel yang sedang mengikuti pelajaran. Dengan 4 orang saya bisa berkenalan secara lancar, hingga tiba saatnya saya harus berkenalan dengan seorang anak perempuan yang hanya mampu memgangkat sebelah tangannya. Ia pun mengulurkan tangan kirinya kepada saya. Saat itu, sontak saya diliputi kebimbangan, haruskah saya membalas salamnya dengan tangan kanan atau tangan kiri? Kebimbangan saya terlihat jelas di mata orang lain, karena saya berulang kali mengangkat tangan, namun tidak mengulurkan, sehingga sontak seisi kelas tertawa melihatnya. Akhirnya, saya putuskan untuk menggunakan tangan kiri, dan celakanya saya ditegur oleh salah seorang murid lain, karena dianggap tidak sopan. Waduuh… saya salah ya.. pikir saya waktu itu. Pengalaman ini sempat terulang hingga dua kali, sampai-sampai saya pun bertanya kepada salah seornag pembimbing disana, dan dijawab dengan lugas bahwa itu tergnatung kenyamanan mereka. Oh begituu tho… Selama dua hari awal bersama mereka, saya juga masih belum berani menanyakan tentang kondisi tubuh teman-teman. Takut menyinggung..begitu pikir saya waktu itu. 








Berbagai pengalaman tersebut kemudian membuat saya merenung, dan sampai pada pertanyan, kenapa saya harus takut menyinggung mereka. Dalam hati saya menjawab bahwa saya takut menyakiti mereka. Jawaban itu saya kejar, dan saat saya memberanikan diri untuk jujur pada diri sendiri, saya menemukan jawaban bahwa takut menyakiti berarti saya belum menganggap mereka setara dengan saya. Saya masih menganggap bahwa mereka tidak sama dengan saya, dan ada jarak yang terbentang diantara kami. Penemuan ini kemudian membawa saya pada kesadaran bahwa saya perlu membebaskan diri dari jarak itu. Akhirnya saya memberanikan diri untuk “menyentuh” hal-hal yang selama ini saya hindari, dengan bertanya mengenai kondisi tubuh mereka, bahkan memegang, dan bercanda mengenai hal itu. Tahu apa yang saya dapatkan… teman-teman itu menanggapi pertanyaan dan candaan saya dengan sangaaaaaaat biasaaaaaa… tidak ada wajah cemberut, tidak ada tangisan, apalagi amarah. Mereka dengan santai menjawab, bahkan bercerita dengan bahasa yang lugas, dan menertawakan keterbatasan yang ada. Dalam hati saya merasa tertampar. Mereka dengan segala keterbatasan yang kasat mata saja berani untuk menghadapinya, menerima, dan menganggap keterbatasan itu sebagai bagian utuh dalam diri mereka. Padahal, banyak diantara mereka yang dilahirkan dengan fisik lengkap, namun karena sesuatu dan lain hal, fisik mereka menjadi terbatas, dan tentu saja, keterbatasan itu memberikan ketidakleluasaan dalam ruang gerak. Sementara saya yang dilahirkan dengan fisik yang sempurna, masih sering tidak bisa menerima keterbatasan-keterbatasan kecil yang saya miliki. Saya masih sering mengeluh ketika keinginan saya tidak tercapai, menggerutu kalau proses yang ada tidak berjalan seperti yang saya harapkan, dan marah ketika orang lain tidak bisa memuaskan harapan dan ekspektansi saya. Dalam hati saya tertunduk malu….








Saya semakin malu saat saya berinterakasi lebih dalam, tidak hanya dengan mereka, tapi juga dengan para orang tua, pada acara parents training. Saat itu, kami sedang sibuk berpindah ruangan, karena ruangan yang semula akan dipakai mendadak akan dihias untuk menyambut ulang tahun lembaga. Saya melihat seorang teman difabel yang duduk di kursi roda keluar ruang bersama seorang teman lain. Sontak saya pikir, wah, mau kemana nih mereka… Hingga beberapa saat kemudian mereka kembali lagi, dan saya terkejut, karena anak yang duduk di kursi roda itu datang sambil membawa 3 buah kursi lipat dengan cara disandarkan di lututnya, dan teman itu mendorong kursi rodanya. Saya pun tersenyum melihatnya. Rupanya mereka ingin membantu kami dalam menata ruangan, sesuai dengan kemampuan mereka. 








Dalam acara itu, saya juga berkesempatan berbincang-bincnag dari hati ke hati dengan para orang tua mereka tentang perjuangan mereka dalam menerima kenyataan, mendidik, dan mengembangkan anak-anak mereka. Seluruh orang tua yang saya wawancara menyiratkan adanya penerimaan yang besar, dan tak kalah pentingnya adalah adanya syukur dan harapan atas kehidupan anak-anak mereka. Pengalaman itu membuat saya terdiam beberapa saat, bahkan setelah kegiatan itu selesai, hingga seorang teman pendamping bertanya kepada saya, mengapa saya terdiam. Saya menjawab bahwa saya terdiam karena membayangkan jika saya menjadi para ornag tua itu, dan teman saya menjawa bahwa membayangkan itu hanya sehari, sementara mereka menjalani selama bertahun-tahun lamanya. 


Saat mendengar jawaban itu, saya semakin terdiam. Hati saya terasa semakin campur aduk dibuatnya. Sungguh saya kagum pada mereka, teman-teman difabel dan para orang tua. Jika saya menjadi mereka, mungkin saya tidak akan setegar itu. Saya masih mudah kecewa jika keinginan tidak tercapai dan mudah sedih saat harapan tidak terwujud. Saya juga masih sering merasa kawatir terhadap segala sesuatu. Terkadang saya juga masih lari dari kenyataan, dan merutuki siapa pun saat ada banyak kesulitan menghadang. Tapi mereka? Mereka dengan gagah berani menghadapi kehidupan, menerima keterbatasan, mensyukurinya, menerobos keterbatasan, dan menganggapnya sebagai tantangan. Dan sekali lagi, mereka menghadapinya selama bertahun-tahun, tidak hanya sehari. Tidak hanya membayangkan, tapi nyata, senyata-nyatanya. 








Sungguh pengalaman selama 6 hari ini membekas di hati saya, dan saya bersyukur karenanya. Terima kasih sudah mengajar saya untuk menjadi pejuang yang tangguh dalam kehidupan. Masih ada waktu 21 hari lagi untuk belajar dari mereka, dan saya yakin, masih ada banyak hal yang bisa dipejari. Belajar sebanyak-banyaknya, dan berbagi sebanyak mungkin, tentu saja dengan hati. 






PS: Tulisan ini tidak akan muncul tanpa lecutan dari seseorang bernama I Rai Hardika.. Terima kasih banyak ya…

Comments

Popular Posts