Tentang Bertanya


Akhir-akhir ini ada beberapa peristiwa yang menggelitik saya di saat yang hampir bersamaan. Semuanya mengarah pada hal yang sama, yaitu tentang bagaimana cara bertanya masyarakat di negeri kita, terhadap orang-orang di lingkungannya. Saat saya melemparkan wacana tersebut kedalam story Instagram, rupanya respon begitu antusias dan beragam. Hal ini membuat saya berpikir, barangkali topik ini bisa menjadi bahan renungan dan refleksi kita bersama. Berikut adalah rangkumannya.
————————————————————————
Beberapa hari lalu, seorang teman lama, yang sudah tidak pernah berkomunikasi selama bertahun-tahun tiba-tiba menghubungi saya. Pertanyaan pertama yang ia lontarkan tanpa pengantar adalah: “Sudah S3 dimana nih?”
Saya tercenung sebentar mecerna pertanyaan tersebut. Bagi saya yang sedang sekolah S3, tentu mudah bagi saya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tapi bagaimana jika pertanyaan tersebut dilontarkan tanpa basa-basi kepada teman yang situasinya berbeda dengan saya. Saya membayangkan, bagaimana jika pertanyaan tersebut ditanyakan kepada seseorang yang sedang berjuang mendapatkan S3 namun belum menemukan titik terang, atau kepada seseorang yang sangat ingin melanjutkan S3 namun terkendala karena satu dan lain hal. Tentu pertanyaan ini dapat memicu respon yang berbeda kepada orang yang ditanya bukan?
Beberapa waktu sebelumnya, saya juga berbincang banyak dengan seorang teman saya, berkebangsaan asing. Teman saya ini mengenal dengan baik negeri kita, karena pernah tinggal di Indonesia dan sudah menjelajah dari Sabang sampai Merauke. Dari pengalamannya berinteraksi dengan banyak masyarakat Indonesia itu kemudian dia berkesimpulan bahwa ada kecenderungan dari masyarakat kita untuk bertanya hal-hal privat, bahkan di awal perkenalan pertama.
Teman saya itu sampai mencatat, ada 20 jenis pertanyaan privat yang biasa ditanyakan oleh masyarakat kita. Pertanyaannya apa lagi kalau bukan seputar status pernikahan, penghasilan, pekerjaan, usia, jumlah anak, keluarga, SARA, sampai pada orientasi seksual. Berdasarkan pengalaman teman saya itu, semua pertanyaan ini secara konsisten ditanyakan bahkan (mohon dicatat yah) diawal perkenalan dengan orang yang belum dikenal.
Menurut teman saya lagi, sebetulnya tidak hanya bertanya mengenai hal-hal privat, tetapi juga “mengomentari” hal-hal privat, tanpa diminta. Entah mengomentari fisik, keluarga, agama, pekerjaan, penghasilan, atau yang lainnya. Intinya, apa saja.
Bagaimana reaksi teman saya tu ketika ditanya hal-hal seperti itu? Ia terkejut dan shock. Perlu waktu untuk dia mencerna dan terbiasa dengan semua pertanyaan itu. Sampai ketika ia bertemu dengan saya, ia memberanikan diri untuk bertanya kepada saya mengenai kebiasaan tersebut. Apakah bertanya dengan cara seperti itu merupakan kultur dari masyarakat Indonesia? Dan saya kehilangan kata dibuatnya.
Kita perlu jujur mengakui, bahwa bertanya dengan menanyakan berbagai pertanyaaan yang bersifat privat dalam pergaulan menjadi bagian dari kebiasaan kita sehari-hari. Entah disadari atau tidak disadari. Tidak hanya dengan orang asing, tetapi juga dengan siapa saja. Pelakunya juga bisa siapa saja, terlepas dari latar belakang pendidikan dan sosial ekonominya.
Masalahnya adalah bagaimana dengan orang yang ditanya? Apa yang dia rasakan, dia pikirkan saat ditanya mengenai hal-hal privat, tanpa persetujuan darinya? Apakah pertanyaan-pertanyaan itu membuat orang lain menjadi nyaman atau justru terbebani, bahkan marah?
Saya pun jadi teringat, ketika hari raya tiba, tiba-tiba muncul banyak meme tentang pertanyaan “kapan kawin” lengkap dengan segala alternatif jawabannya. Saya jadi ingat, betapa acara keluarga menjadi sangat menakutkan karena khawatir akan ditanya mengenai ini dan itu. Saya juga jadi ingat betapa acara arisan, reunian, nongkrong bareng, bahkan pekerjaan, menjadi dihindari karena penuh dengan tembakan pertanyaan privat dari segala penjuru. Hal-hal ini jamak saya dengar dan temui, tidak hanya dalam pergaulan tetapi juga di ruang praktik bersama klien yang saya bersamai.
Yang saya juga sering dengar juga adalah saat seseorang menolak atau menghindar dari serbuan pertanyaan privat tersebut adalah dianggap “baperan” atau kurang tahan mental Pertanyaan saya adalah mengapa dan sejak kapan menjawab pertanyaan-pertanyaan privat menjadi indikator dari ketahanan mental dan karakteristik pribadi seseorang? Bukankah “menjawab” atau “tidak menjawab” adalah hak pribadi dari individu?
Saya hanya ingin menyampaikan (sekaligus menjadi pengingat bagi diri sendiri), sebelum bertanya mengenai hal-hal privat, mari pertama-tama dan terutama menempatkan posisi pada orang yang ditanya. Apakah pertanyaan yang kita ajukan bermanfaat dan membuat lawan bicara menjadi nyaman? Apakah pertanyaan-pertanyaan kita sungguh merupakan bentuk kepedulian atau sebetulnya hanya didasari oleh keingintahuan pribadi alias “kepo belaka?”
Acapkali pertanyaan-pertanyaan privat muncul sebagai bentuk basa-basi pergaulan yang dianggap biasa oleh masyarakat. Masalahnya apa sih sebetulnya esensi dari basa-basi? Kalau boleh saya berhipotesa, pola komunikasi masyarakat kita memang cenderung tidak langsung. Basa-basi seringkali digunakan untuk menjembatani sebelum masuk ke topik yang utama. Juga sebagai penghangat suasana agar pertemuan individu tidak anyep ibarat antartika. Nah kalau dalam proses basa-basa sendiri sudah tidak mulus karena membuat tidak nyaman mitra bicara, bagaimana bisa mencapai tujuan utama dan mengakrabkan relasi pertemanan dan keluarga?
Mari kita sadari kembali bahwa sebuah pertanyaan sederhana, yang barangkali dianggap ringan oleh orang yang bertanya, bisa dimaknai berbeda pada orang dengan situasi yang berbeda. Maka mari kita berhati-hati dalam bertanya. Kenali dulu lawan bicara sebelum kita bertanya. Tak perlu bertanya mengenai hal privat sebelum diminta atau kita sungguh mengenal dekat orang tersebut. Tak perlu berkomentar atau memberikan saran kepada orang lain tanpa ia minta. Tidak semua orang membutuhkan saran. Seringkali ia hanya butuh diterima dan didengarkan. Tak perlu juga membandingkan mitra bicara dengan orang yang lainnya. Hidup bukanlah melulu tentang pertandingan, harus ada pemenang diantara lainnya.
Mari kita ingat, ada batasan pribadi dari individu yang perlu kita jaga dan hargai. Seperti kita juga ingin dihargai oleh individu yang lainnya. Itu baru namanya empati, respek, dan peduli.

Comments

Popular Posts