#Trauma: Sebetulnya Bagaimana?

Akhir-akhir ini di berbagai media massa dan media sosial banyak diberitakan dan dibicarakan mengenai isu trauma psikologis, pasca peristiwa penembakan yang menyangkut sejumlah anggota sebuah institusi. Saya jadi tergerak untuk berbagi berdasarkan keilmuan yang saya pelajari selama ini, dan semoga bisa menambah wawasan teman-teman yang tertarik dengan isu ini. 


Berbicara tentang #trauma, berdasarkan pemahaman masyarakat selama ini sebetulnya secara keilmuan bisa dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu sebagai pemicu, sebagai reaksi, dan sebagai dampak. 





Sebagai pemicu, suatu peristiwa dapat dikatakan sebagai “potentially traumatic event” (PTE) atau peristiwa yang berpotensi traumatis apabila menimbulkan pengalaman yang sangat kuat dan bersifat menekan pada diri seseorang karena pengalaman tersebut mengancam fisik atau kesejahteraan psikologis individu. Mengapa ada sebutan “potentially” atau “berpotensi”, karena pada dasarnya masih bersifat potensi. Reaksi dan dampaknya bisa berbeda-beda pada masing-masing individu. Contoh PTE bisa bermacam-macam, seperti antara lain bencana alam, kecelakaan, kebakaran, penyerangan fisik atau seksual, penculikan, sakit yang mengancam jiwa, dan lain sebagainya. Perlu diingat bahwa PTE tidak melulu harus dialami individu secara langsung, tetapi juga bisa dengan menyaksikan atau menjadi saksi mata dari sebuah peristiwa, mengetahui peristiwa tersebut, atau terpapar akibat pekerjaan yang dijalaninya. 


Ditinjau dari sudut pandang reaksi, penting untuk diingat bahwa setelah mengalami suatu PTE, biasanya terdapat respon awal yang dialami oleh mayoritas individu. Respon yang terjadi biasanya adalah kebingungan, kesedihan, mati rasa secara emosional, kelelahan, dan kegelisahan. Dimungkinkan juga muncul perasaan malu dan bersalah yang intens. Respon-respon awal seperti ini bersifat normal adanya. Namun perlu diingat, bahwa setiap individu dapat bereaksi berbeda-beda, antara lain dipengaruhi oleh latar belakang demografi (usia, jenis kelamin, dll) dan budaya. Gejala-gejala seperti ini biasanya akan berkurang dengan seiring berjalannya waktu, namun pada sebagian orang respon-respon ini dapat berkepanjangan dan bertambah parah, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan mental (yang nantinya akan dibahas lebih jauh dalam dampak). Nah, dalam hal ini, masalah resiliensi psikologis dan dukungan sosial, berdasarkan riset, secara konsisten memainkan peranan dalam mengurangi gejala-gejala awal agar tidak semakin parah dan berkepanjangan. 




Sementara itu, PTE juga berpotensi menimbulkan dampak kesehatan mental, berupa gangguan psikologis terkait dengan trauma. Ada beberapa gangguan yang dapat dialami oleh individu pasca mengalami PTE. Gangguan yang klasik adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan Complex PTSD. Selain itu juga dapat berupa depresi, kecemasan, gangguan tidur, self-harm, dan lain sebagainya. Individu bahkan memungkinkan mengalami lebih dari satu gangguan kesehatan mental secara bersamaan. Perlu diketahui juga bahwa, dampak kesehatan mental ini dapat bersifat tertunda (delayed). Jadi ada jeda antara terjadinya suatu peristiwa traumatis dengan awal terjadinya gejala-gejala gangguan kesehatan mental (biasanya minimal terdapat jeda 6 bulan). Jadi dalam beberapa kasus, dimungkinkan seseorang baru mengalami gangguan kesehatan mental terkait dengan trauma beberapa tahun setelah terjadinya suatu peristiwa traumatis. Untuk memastikan apakah seseorang mengalami gangguan kesehatan mental terkait dengan trauma, tentu diperlukan pemeriksaan yang mendalam oleh profesional kesehatan mental (psikolog klinis dan atau psikiater). 


Salam,


Indira Primasari

Center of Psychological Trauma, 

Amsterdam UMC – Location University of Amsterdam

Member of Global Collaboration on Traumatic Stress

Comments

Popular Posts