Antara Saya, Papan tulis, Guru, dan Mercusuar

Berbicara tentang pendidikan, ingatan saya pun melayang pada sebuah pengalaman saat saya masih duduk di kelas 4 SD. Ketika itu, untuk pertama kalinya saya terpesona pada sebuah buku, yang mampu membuat saya tertawa bahagia dan menangis sedih dalam waktu yang bersamaan. Buku yang rupanya mampu membuat hati saya tergetar untuk bermimpi dan beraspirasi, bahkan hingga bertahun tahun sesudahnya. Judul buku itu Toto Chan, sebuah novel yang menceritakan kisah kehidupan sekolah seorang bocah Jepang bernama Toto di sekolah Tomoe, bersama kepala sekolah dan teman-teman tersayang. Toto  adalah sesosok anak yang dicap “nakal” oleh lingkungan sosialnya, bahkan beberapa kali ditolak dari sekolah. Namun, di Tomoe, ia diterima apa adanya dan difasilitasi untuk berkembang sesuai potensinya.  Sungguh, saat membaca buku itu, seketika saya berharap keras bahwa saya akan menemukannya suatu hari nanti, disini, di Indonesia.

                Sejak saat itu, saya berada dalam masa pencarian, berusaha menemukan Tomoe. Kadang-kadang saya menemukannya, tapi terkadang juga tidak, yang tentu menimbulkan kekecewaan. Seiring dengan bertambahnya usia, seiring dengan semakin luasnya pengalaman, saya pun menyadari bahwa saya sungguh beruntung karena pernah merasakan Tomoe versi Indonesia, sementara ada banyak siswa yang terseok-seok dengan pendidikannya karena dilanda berbagai masalah. Pemerintah boleh menganggarkan 20 % dari dana APBN untuk pendidikan, namun pada kenyataannya masih banyak siswa yang bersekolah dengan keterbatasan, entah dalam hal sarana prasarana, biaya, atau metode ajar. Belum lagi mereka yang harus berhadapan dengan sistem yang tidak sehat di sekolah, seperti beratnya beban kurikulum dan kekerasan dari teman atau guru. Sesuatu yang rasanya kurang manusiawi bagi sebuah proses yang disebut dengan pendidikan.



                Berangkat dari berbagai fenomena tersebut, di kemudian hari, saya berpikir bahwa berbagai keterbatasan tersebut bukanlah sebuah penghalang bagi seseorang untuk maju dan mengembangkan dirinya. Redupnya kualitas pendidikan tidak seharusnya menjadi hambatan untuk menjadi seseorang yang terididk. Kita bisa menciptakan secercah cahaya, segelap apapun situasi dan kondisinya, Selalu ada harapan di kala terjad kebuntuan. Dan saya meyakini harapan itu bisa ditumbuhkan melalui sesosok pribadi yang selama ini menjadi aktor utama dalam pendidikan, yaitu guru,



                Pemikiran saya tersebut berangkat dari sebuah pengalaman pribadi saat duduk di kelas 2 SMA. Sudah menjadi kebiasaan dalam kurikulum sekolah akan adanya pelajaran matematika. Saat itu saya merasa kesulitan untuk mengikuti, dan akibatnya saya selalu mendapat nilai dibawah 5 pada setiap ulangan harian maupun ulangan umum. Sebagai informasi, kala itu nilai matematika seolah-olah menjadi indikator wajib untuk menentukan tingkat kecerdasan siswa. Paham itu sepertinya diamini pula oleh guru pengampu saya, dan suatu hari, didepan teman-teman sekelas, guru tersebut mengatakan saya sebagai murid yang bodoh sembari tertawa-tawa, yang tentu saja menertawakan diri saya. Saat mendengar perkataan tersebut, spontan saya terdiam karena sedih. Pengalaman itu rupanya menjadi titik balik bagi diri saya, Bukannya saya berjuang untuk menunjukkan diri bahwa saya jago di bidang matematika, tapi saya justru saya semakin yakin bahwa saya memang bodoh  dalam urusan pelajaran yang berbau angka. Akibatnya, prestasi saya di pelajaran lainnya yang ada muatan angka seperti kimia dan fisika pun terkena imbasnya. Belum cukup sampai disitu, setelah kuliah bahkan kuliah saat kuliah di S2 pun, dan mengambil mata kuliah statistik dan psikometri, saya langsung merasa bahwa saya tidak bisa. Dampaknya adalah, saya mesti berjuang keras untuk menakhlukkan diri sendiri agar bisa lulus dalam kuliah tersebut.



                Kontras dengan hal tersebut, masih seputar pengalaman di kelas 2 SMA, saya diajar pula oleh seorang guru matemtika lain. Guru tersebut tahu betul bahwa nilai pelajaran eksak saya selalu menjadi juru kunci di kelas. Suatu ketika ia menasehati kami yang sedang gundah gulana mengenai penjurusan. Ia berkata bahwa kami tidak usah memaksakan diri untuk masuk IPA, kalau memang merasa tidak cocok. Semua jurusan baik adanya. Tidak masuk IPA bukan berarti dunia akan kiamat, karena toh masih ada profesi lain yang bisa digeluti, dan kesempatan berhasil sama besarnya antara IPA, IPS atau bahasa, asalkan dilandasi oleh kerja kerasa dan kesukaan terhadap bidang itu. Perkataan guru itu sontak membesarkan hati saya yang terjepit karena merasa bodoh di IPA, dan dengan hati mantab saya memilih IPS sebagai jurusan saya di kelas 3, dan kemudian memilih psikologi sebagai mayor utama kuliah, sebuah pilihan yang sungguh saya syukuri hingga saat ini.  Dua orang guru, di sekolah yang sama, di tingkat yang sama, dan sama-sama mengajar matematika, namun membawa pengaruh yang berbeda. Berkaca pada pengalaman tersebut, saya menjadi semakin percaya bahwa wajah kualitas pendidikan Indonesia akan menjadi semakin  manusiawi bila memiliki guru-guru yang manusiawi pula.



Guru dapat diibaratkan sebagai sebuah mercusuar yang memandu jalannya kapal-kapal menuju ke tujuan yang direncanakan. Secara filosofis, guru lah yang diamanahi untuk membimbing para siswanya untuk berkembang, mencapai visi dan kesejatian mereka. Nyala lampu mercusuar sangat dapat mempengaruhi kapal-kapal yang berlayar, terlebih lagi, seorang guru, seorang manusia yang diciptakan oleh Tuhan dengan sempurna, sangat besar pengaruhnya terhadap para siswa. Ia adalah agent of change, sesosok agen perubahan yang berperan serta menjadikan siswanya menjadi manusia yang utuh, tidak hanya kognitif, melainkan juga secara afektif, psikomotor, dan spiritual, lengkap dengan nilai-nilai kehidupan yang melekat didalamnya.


  



Namun, tentu tidak semua guru bisa menjadi mercusuar yang indah bagi siswanya. Hanya guru-guru dengan karekter pribadi tertentu yang bisa berperan dengan eloknya. Dalam hal ini dibutuhkan guru yang manusiawi. Ia adalah sosok yang menjadikan cinta sebagai dasar dari seluruh proses peran dan tanggung jawabnya dalam mendidik siswa-siswanya. Hal yang pertama dan utama adalah cinta, melebihi tanggung jawab profesi dan profesionalisme. Dengan berlandaskan cinta, maka seorang guru akan dapat jujur dalam menghayati perannya, mengenal siswanya secara satu per satu sungguh secara pribadi, serta tulus dalam menerima dan membimbing mereka apa adanya, sesuai potensi, kelebihan, dan kelemahan mereka. Jujur dalam penghayatan peran disini dapat diartikan sebagai memahami betul kelemahan, keterbatasan, kelebihan, dan potensinya sebagai pribadi, tidak semata-mata sebagai guru, tapi juga sebagai manusia. Kenal, tidak semata-mata tahu identitasnya, melainkan juga karakter, potensi kelemahan, dan kelebihan dari anak didik. Kemudian tulus berarti menerima tanpa syarat, apapun keadaan dirinya, meski menyakitkan dan tidak sesuai dengan nilai dan prinsip pribadi guru. Dalam hal ini, saya menjadi teringat pada perkataan Pak Kobayashi, Kepala sekolah Tomoe kepada Toto yang terkenal nakal, “Sesungguhnya kamu adalah anak baik.” Sungguh sebuah kepercayaan yang tulus terhadap pribadi seorang murid, sementara guru lain menolak anak itu karena nakal. Selanjutnya adalah membimbing dengan bijaksana, sesuai dengan kebutuhan siswa, dan bukan kebutuhan guru. Berani tegas meski menyakitkan demi perkembangan siswa, dan berani meminta maaf kepada siswa bila guru salah. Dibutuhkan kejernihan dan kerendahan hati dalam diri seorang guru untuk menjadi pribadi yang manusiawi. Jika cinta menjadi landasan yang utama dan pertama, maka saya percaya bahwa tindakan-tindakan profesionalisme peran sebagai guru pun akan mengikuti dengan sendirinya, dan tentu dilakukan secara serius dan bertanggung jawab, namun tetap gembira.



Tidak dapat dipungkiri bahwa bukan hal yang mudah untuk menjadi seorang guru yang manusiawi, yang menjadikan cinta sebagai dasar yang utama dan pertama dalam seluk beluk aktivitas dan perannya.  Memang ada sebagian guru yang sejak awal menyadari dan mennaggapi panggilan hatinya sebagai guru, sehingga cinta sudah seolah-olah melekat dalam dirinya. Ada pula sebagian guru yang karakter dasar pribadinya adalah pecinta, sehingga mudah untuk mencintai dengan jujur dan tulus. Namun tidak sedikit guru yang masih kekurangan, sehingga sulit untuk mencinta yang berarti tentu saja memberi kepada anak didik dari dan melalui dirinya. Banyak pula guru yang memilih profesi sebagai guru karena “terpaksa” dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya, entah karena tidak diterima di jurusan favorit, atau karena dirasa lebih mudah mencari kerja dan mendapat uang. Dua hal yang terahir tentu dirasa dapat menjadi hambatan untuk dapat menjadi seorang guru yang manusiawi. Meski demikian, hal tersebut bukanlah akhir dari segalanya. Saya percaya selalu ada jalan untuk sebuah harapan yang lebih baik.



Untuk dapat menciptakan guru-guru yang manusiawi, tentu seorang guru tidak dapat berdiri sendiri, melainkan perlu bergandengan tangan dengan sistem yang melingkupinya, dalam hal ini sekolah atau perguruan tinggi, beikut kebijakannya. Untuk tahap persiapan, sekolah dapat membuat sebuah program pengembangan diri guru yang kurikulumnya memfasilitasi guru menemukan dan memantabkan karakter tersebut. Sejauh pengamatan saya, selama ini program pengembangan diri yang banyak diberikan sekolah dan pemerintah kepada guru adalah program-program yang bersifat kognitif dan psikomotor yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan guru dalam mengajar. Sementara untuk aspek afeksi dan spiritual kurang diolah. Dalam program baru ini, guru difasilitasi untuk mengenal diri dan merefleksikan perjalanan dan pengalaman hidupnya sebagai guru, sehingga ia dapat memaknai secara positif profesi dan perannya saat ini. Diharapkan, dengan demikian ia semakin memahami potensi dan keterbatasannya, menerima hal tersebut, dan semakin mantab dengan profesi dan perannya. Disamping itu, guru juga difasilitasi untuk merumuskan visi dan misinya, baik sebagai pribadi, sebagai guru (profesi), dan bagaimana menyelaraskan antara visi misi tersebut dengan visi misi sekolah. Langkah yang terakhir adalah membuat action plan untuk pengembangan diri maupun profesi.



Poin-poin rencana tindakan (action plan) kemudian diwujudkan dalam aksi yang sesungguhnya, yaitu dalam konteks belajar mengajar. Kiranya sekolah juga perlu membuat kurikulum yang mampu memfasilitasi hal tersebut. Pendidikan berbasis refleksi bisa menjadi salah satu acuannya. Tahapan yang ada dalam  proses tersebut meliputi proses menemukan konteks, mengalami, merefleksikan, melakukan tindakan, dan evaluasi. Tahapan ini tidak sekedar membantu guru untuk mengasah kepekaan dan kemampuannya dalam mencinta, tetapi sekaligus juga mendidik para siswa untuk menjadi semakin manusiawi, karena melibatkan seluruh elan vital dalam dirinya, baik kognitif, psikomotor, afeksi, maupun spiritual, dan mengenai konteks yang lebih luas, tidak hanya individu, melainkan juga individu lain, lembaga, dan sistem didalamnya.
  

Terakhir, perlu juga diadakan refleksi karya terjadual bagi guru untuk mengendapkan dan memaknai pengalaman mendidiknya selama jangka waktu tertentu,sehingga pengalaman tersebut semakin mengakar didalam diri. Kegiatan refleksi karya dapat juga berfungsi sebagai sarana bagi guru untuk saling mengenal dan meneguhkan satu sama lain secara pribadi.



Pada akhirnya, diharapkan berbagai alternatif tersebut dapat membawa guru menjadi sesosok manusia yang semakin manusiawi dalam melaksanakan profesi dan tanggung jawabnya. Ibarat mercusuar, maka guru adalah mercusuar yang ramah, namun tetap teguh dalam berprinsip dan bertindak, yang dicintai oleh siswa-siswanya, menginspirasi mereka, dan menjadikan mereka semakin manusiawi pula dan siap menjadi pemimpin bangsa masa depan, bangsa yang manusiawi. Bahkan bukan mustahil, guru bukan lagi sekedar menjadi profesi dan peran, melainkan sebagai sebuah panggilan yang melekat dalam jati diri manusianya, guru kehidupan.


Comments

Popular Posts