Tentang Saya, Papan Tulis, dan Mereka..


Bagi banyak orang, bisa jadi apa yang saya lakukan tidak dianggap sebagai sebuah pekerjaan. Bagaimana tidak, kalau orang lain berkantor di gedung megah, saya berkantor di tepi sungai dan pemakaman, tepatnya di beberapa rumah kecil berdinding anyaman bambu dan berlantaikan semen. Kalau orang lain menerima gaji, bonus akhir tahun, berkesempatan mendapatkan promosi dan pengembangan, di kantor, saya tidak menerima apapun, dalam arti yang sebenar-benarnya, dan justru mengeluarkan uang, untuk membeli bensin dan tetek bengek perlengkapan, agar pekerjaan bisa berjalan. Meski begitu, toh saya tetap menganggap apa yang saya lakukan ini sebagai pekerjaan, karena bagaimanapun saya menggunakan diri saya, potensi, kemampuan, pikiran, dan juga hati agar proses berjalan dengan baik, dan tujuan dapat tercapai.



 



Saya mengenal pekerjaan ini baru beberapa bulan yang lalu. Tugas kuliahlah yang membawa saya ke tempat ini, saat saya diminta oleh dosen untuk menemukan anak-anak yang membutuhkan pendampingan psikologis. Di kantor ini, job description saya adalah memberikan pendampingan, baik secara psikologis, maupun akademis, bagi para user yang terdiri dari 40 orang anak berusia 3-13 tahun. Dua kali dalam seminggu, selama 3 jam di malam hari, saya datang ke “kantor” untuk menemani mereka belajar, entah mengerjakan PR atau belajar di kelas besar bersama teman lainnya. Dihari yang lain, saya terkadang datang untuk menemani mereka bermain dan berlatih menari. Jika dibutuhkan, diluar waktu tersebut saya juga datang untuk memberikan pendampingan psikologis. Begitulah keseharian saya di tempat itu.



Jujur, awalnya hati saya sempat canggung dan ciut saat akan memulai pekerjaan ini. Terbayang jelas perkataan dari pengelola sanggar bahwa saya akan menghadapi berbagai macam anak yang didominasi oleh karekter keras dan agresivitas tinggi. Maklum, mereka adalah anak-anak yang tumbuh dan tinggal di sebuah perkampungan kumuh, dimana kesulitan ekonomi dan kekerasan menjadi makanan sehari-hari. Hati saya semakin ciut saat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa perkataan dari pengelola sungguh benar adanya. Pupus sudah bayangan saya tentang anak-anak kecil yang lucu, manja, dan tertib, karena yang hadir di depan mata adalah anak-anak yang dekil, kumal, berbau, gemar berkata kasar dan tidak patuh pada aturan. Pada minggu-minggu pertama saya datang saja rambut dan badan sudah terasa sakit karena ditarik dan dipukul. Kalau sudah begitu hati ini rasanya jengkel dan ingin marah pada mereka. Meski begitu, saya mencoba untuk memahami mereka. Bukan salah anak-anak itu jika mereka tumbuh menjadi pribadi yang agresif dan kurang bersopan santun. Toh mereka tidak meminta untuk dilahirkan di tengah sulitnya ekonomi dan lingkungan yang keras. Saya terinsipirasi oleh kehadiran teman-teman lain yang dengan rela hati mendampingi mereka selama bertahun-tahun lamanya. Dari mereka, saya belajar untuk mengimbangi anak-anak itu dengan melepas ego sebagai orang dewasa, melalui perubahan sikap, topik, dan gaya bicara. Tidak lupa mengedepankan ketulusan, kesabaran juga ketegasan.



Lambat laun, saya mulai bisa menerima dan menyesuaikan diri dengan mereka. Minggu-minggu selanjutnya, sudah bukan lagi pukulan dan tarikan yang saya dapat, melainkan celotehan riang dan pelukan dari mereka. Kebersamaan dengan mereka juga membuat saya merasa bersyukur atas hidup yang saya punya, yang kadang-kadang saya masih merasa tiduk puas karenanya. Entah kenapa, setiap kali datang kesana, saya juga merasakan tambahan energi yang besar, dan energi itu mampu bertahan sesudahnya. Energi yang membuat saya bersemangat untuk datang kesana, dan rasanya berhasil membuat teman-teman lainnya bertahan mendampingi selama bertahun-tahun. Hingga suatu ketika, saya menyadarinya saat saya berhalangan hadir dan mendapat sms dari seorang pengelola, yang mengatakan bahwa anak-anak merindukan kehadiran saya. Saya rasa, energi itu adalah cinta. Saya merasa dicintai oleh mereka, dan saya mencintai mereka.


Bagi banyak orang, bisa jadi apa yang saya lakukan tidak dianggap sebagai sebuah pekerjaan. Bagaimana tidak, kalau orang lain berkantor di gedung megah, saya berkantor di tepi sungai dan pemakaman, tepatnya di beberapa rumah kecil berdinding anyaman bambu dan berlantaikan semen. Kalau orang lain menerima gaji, bonus akhir tahun, berkesempatan mendapatkan promosi dan pengembangan, di kantor, saya tidak menerima apapun, dalam arti yang sebenar-benarnya, dan justru mengeluarkan uang, untuk membeli bensin dan tetek bengek perlengkapan, agar pekerjaan bisa berjalan. Meski begitu, toh saya tetap menganggap apa yang saya lakukan ini sebagai pekerjaan, karena bagaimanapun saya menggunakan diri saya, potensi, kemampuan, pikiran, dan juga hati agar proses berjalan dengan baik, dan tujuan dapat tercapai.



Saya mengenal pekerjaan ini baru beberapa bulan yang lalu. Tugas kuliahlah yang membawa saya ke tempat ini, saat saya diminta oleh dosen untuk menemukan anak-anak yang membutuhkan pendampingan psikologis. Di kantor ini, job description saya adalah memberikan pendampingan, baik secara psikologis, maupun akademis, bagi para user yang terdiri dari 40 orang anak berusia 3-13 tahun. Dua kali dalam seminggu, selama 3 jam di malam hari, saya datang ke “kantor” untuk menemani mereka belajar, entah mengerjakan PR atau belajar di kelas besar bersama teman lainnya. Dihari yang lain, saya terkadang datang untuk menemani mereka bermain dan berlatih menari. Jika dibutuhkan, diluar waktu tersebut saya juga datang untuk memberikan pendampingan psikologis. Begitulah keseharian saya di tempat itu.



Jujur, awalnya hati saya sempat canggung dan ciut saat akan memulai pekerjaan ini. Terbayang jelas perkataan dari pengelola sanggar bahwa saya akan menghadapi berbagai macam anak yang didominasi oleh karekter keras dan agresivitas tinggi. Maklum, mereka adalah anak-anak yang tumbuh dan tinggal di sebuah perkampungan kumuh, dimana kesulitan ekonomi dan kekerasan menjadi makanan sehari-hari. Hati saya semakin ciut saat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa perkataan dari pengelola sungguh benar adanya. Pupus sudah bayangan saya tentang anak-anak kecil yang lucu, manja, dan tertib, karena yang hadir di depan mata adalah anak-anak yang dekil, kumal, berbau, gemar berkata kasar dan tidak patuh pada aturan. Pada minggu-minggu pertama saya datang saja rambut dan badan sudah terasa sakit karena ditarik dan dipukul. Kalau sudah begitu hati ini rasanya jengkel dan ingin marah pada mereka. Meski begitu, saya mencoba untuk memahami mereka. Bukan salah anak-anak itu jika mereka tumbuh menjadi pribadi yang agresif dan kurang bersopan santun. Toh mereka tidak meminta untuk dilahirkan di tengah sulitnya ekonomi dan lingkungan yang keras. Saya terinsipirasi oleh kehadiran teman-teman lain yang dengan rela hati mendampingi mereka selama bertahun-tahun lamanya. Dari mereka, saya belajar untuk mengimbangi anak-anak itu dengan melepas ego sebagai orang dewasa, melalui perubahan sikap, topik, dan gaya bicara. Tidak lupa mengedepankan ketulusan, kesabaran juga ketegasan.



Lambat laun, saya mulai bisa menerima dan menyesuaikan diri dengan mereka. Minggu-minggu selanjutnya, sudah bukan lagi pukulan dan tarikan yang saya dapat, melainkan celotehan riang dan pelukan dari mereka. Kebersamaan dengan mereka juga membuat saya merasa bersyukur atas hidup yang saya punya, yang kadang-kadang saya masih merasa tiduk puas karenanya. Entah kenapa, setiap kali datang kesana, saya juga merasakan tambahan energi yang besar, dan energi itu mampu bertahan sesudahnya. Energi yang membuat saya bersemangat untuk datang kesana, dan rasanya berhasil membuat teman-teman lainnya bertahan mendampingi selama bertahun-tahun. Hingga suatu ketika, saya menyadarinya saat saya berhalangan hadir dan mendapat sms dari seorang pengelola, yang mengatakan bahwa anak-anak merindukan kehadiran saya. Saya rasa, energi itu adalah cinta. Saya merasa dicintai oleh mereka, dan saya mencintai mereka.

Comments

Popular Posts