Si Boss aka The Dragon Lady


Antusias! itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan saya saat mendapat telepon dari calon boss sebuah rumah sakit tempat dimana saya melamar pekerjaan. Ia menawarkan sebuah posisi yang memberikan keleluasan kepada saya untuk membenahi sistem HR secara menyeluruh. Bagi seorang fresh graduate seperti saya waktu itu, tentu saja posisi itu jelas menantang. Saya berpikir bahwa pasti ada banyak pengalaman yang bisa saya dapatkan. Tanpa perlu berpikir panjang, langsung saya iyakan tawaran itu, dan dengan semangat 45, kaki pun saya langkahkan.

Satu bulan pertama adalah bulan madu untuk saya. Saya sungguh menikmati pekerjaan yang ada. Hubungan saya dengan boss pun berjalan lancar. Namun, lambat laun saya mendengar berita yang tidak sedap dari teman-teman seruangan tentang si Boss. Menurut mereka, Boss adalah seorang yang sulit, keras kepala luar biasa, tidak punya empati kepada anak buah, egois, dan masih segudang komentar negatif lainnya. Sampai-sampai seluruh isi departemen ingin resign dibuatnya. Kalau tidak memikirkan kebutuhan keluarga, pasti mereka sudah resign sejak lama. Awalnya, saya tidak terlalu mengambil hati cerita mereka. Tapi lama kelamaan jadi berpikir juga, karena komentar itu terus menerus saya dengar setiap hari, dimanapun dan kapanpun, asalkan si Boss sedang tidak ada di tempat. Komentar itu akhirnya tidak saja dilontarkan oleh teman satu departemen, tapi juga dari departemen lain, dan barulah saya tahu bahwa boss saya yang satu itu ditakuti oleh seantero rumah sakit.Jujur, berbagai komentar negatif itu membuat nyali saya ciut. Apalagi, sedikit demi sedikit saya mulai mencicipi persis seperti apa yang dikeluhkan oleh teman-teman. Kritikan tajam atas pekerjaan sudah menjadi makanan sehari-hari. Seperti nasi setiap kali saya makan. Satu pekerjaan saya bahkan pernah sampai 5 kali dirombak total, dan kesemuanya berbeda konsep antara satu dengan yang lainnya. Padahal konsep itu membutuhkan kecermatan dan analisa yang tajam karena terkait dengan jabatan, tanggung jawab, dan kewenangan seluruh isi rumah sakit. Belum lagi, ditambah dengan bentakan dan bantingan pintu bila Boss sedang marah. Saya pun menjadi tertekan dibuatnya. Bekerja sudah bukan lagi menjadi momentum yang membahagiakan. Kestabilan emosi saya berada di titik terendah saat pada evaluasi 3 bulan kinerja. Bersama Boss, saya disidang selama 1.5 jam, lengkap dengan kritik mengenai performa kerja dan diri saya sebagai pribadi. Saya dianggap sebagai pribadi yang tidak bisa beradaptasi. Tidak cocok untuk lembaga itu, dan masih sederet komentar lainnya. Tidak sedikit pun ia melihat sisi baik dari apa yang saya kerjakan selama ini. Sungguh hati ini ngilu dibuatnya. 



Segala kekesalan, kekecewaan, dan kemarahan hanya bisa saya tumpahkan kepada ibu di kampung halaman melalui telepon. Kepada ibu saya ungkapkan keinginan saya untuk resign dari tempat itu, tapi ibu saya justru meminta untuk bersabar dan maju terus.Meski dengan berat hati, saya turuti nasehat ibu saya. Ketika itu saya bertekad untuk terus bekerja di tempat itu, apapun keadaannya. Saya berpikir bahwa bila saya menyerah, maka saya telah menggadaikan diri, hidup, dan impian saya pada orang itu. Maka saya menjalani hari-hari seperti biasanya. Berusaha melakukan yang terbaik pada pekerjaan saya. Saya tak lagi memikirkan apakah pekerjaan saya dipuji atau tidak. Saya mulai membiasakan diri dengan perilaku Boss yang luar biasa itu. Kritikan saya anggap sebagai sarana yang bisa membuat saya semakin berkembang. Saya juga berusaha menjalin komunikasi yang intens dengannya, sekaligus menyiapkan telinga juga hati kala ia butuh didengarkan. Lambat laun saya merasa ringan dan bebas, meskipun perilakunya juga tidak banyak berubah. Tapi saya merasa semakin bisa memahami Boss, begitu pula dengan dia. Paling tidak ia sudah jarang mengumbar kemarahan dan kami lebih banyak bicara dari hati ke hati. Dengan cara itu saya bisa bertahan hingga hampir dua tahun, sebelum akhirnya saya memutuskan untuk resign karena ingin melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. 

Di hari terakhir saya bekerja, Boss tidak banyak berkata-kata, namun ia telah menyiapkan sebuah tumpeng untuk saya. “Sebagai doa untuk perjalanan hidupmu berikutnya”, begitu katanya. Saya pun dipeluknya, dan butir-butir air mata turun di pipinya. Saat itu, hilang semua kata yang bisa saya ucapkan. Hanya air mata yang mewakili semuanya. Di lubuk hati terdalam, saya mensyukuri semua proses yang telah berlalu. Saya menyadari bahwa saya telah berkembang menjadi manusia yang semakin utuh dan matang. Terima kasih Boss.

Dimuat di Rubrik My Point of View CHIC Magazine Nomor 84 yang terbit pada 9-23 Maret. 2011 (yipppieeeeeee.......) 

Comments

Popular Posts